Maya Laiden

S. Po Singki
Chapter #3

Persiapan Masuk Sekolah

Waktu usiaku mulai beranjak enam tahun, tepatnya lima tahun sembilan bulan, yang menurut keterangan Nurmi sebagai usia wajib sekolah, maka Nurmi mendaftarkan aku, juga Ismail putra kedua Nurmi yang lebih tua tujuh bulan dariku, serta Harun yang berusia hampir genap tujuh tahun, putra dari pamanku, Ledeng, yang tinggal jauh dibalik gunung sana.

Subuh-subuh kami bertiga di gelandang ke sumur mata air, di guyur dan di gosok sampai mengkilap, persis seperti gelas-gelas antik yang dibersihkan dari bekas karatan kopi atau karatan teh. Sabun colek cap jempol, di gosokkan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelah itu disiram air dengan menggunakan ember bervolume 17 liter.

Kalau kalian sudih membaca kisah ini sedikit lebih jauh, nanti dengan sendirinya kalian akan tahu siapa si bengis nan kejih ini, di pagi yang masih buta, dingin masih menusuk-nusuk kulit, tapi tega sekali ia menyirami anak-anak manis dan luguh-luguh macam kami ini secara membabi buta. Dia manusia, tapi seolah tak punya perasaan.

Kami diguyur air sampai mengap-mengap. Kadang-kadang limbung seketika, karena kaki-kaki kami masih terlalu kecil untuk menopang tubuh masing-masing diatas batu-batu granit pipih yang sengaja ditatah sedemikian rupa sebagai teras sumur. Setelah itu dikeringkan dengan sehelai handuk yang sama.

Siapa pun yang melihat tubuh mungil kami bertiga menggigil dalam balutan satu lembar handuk kusut, yang sebentar-sebentar ditarik-tarik di sanan-sini. Pasti akan kecekikan tertawa. Maksudku begini. kalau kalian pernah milihat kucing, anjing, kambing, ataukah ayam yang belingsatan mengejar-ngejar ekornya sendiri, maka itulah kami di pagi yang masih buta itu.

Lihat selengkapnya