“Benih dari segala kesombongan adalah: Ketika kau mulai membiarkan dirimu meremehkan orang lain”
Seumur-umur, ini kali pertama aku melihat Nurmi begitu kerepotan, ia sampai memanggil anak sulungnya Ibrahim untuk membantu mengatur bocah-bocah yang mulai hari ini resmi tercatat sebagai siswa SDN no 17 Singki. Anak laki-laki dipisahkan tempat duduknya dari anak-anak perempuan. Kecuali aku yang mendapat pengecualian, aku duduk di bangku panjang paling depan diapit Ismail dan Harun. Berhadapan langsung dengan meja dan kursi tempat duduk Nurmi.
Waktu tiba giliranku untuk di tertibkan. Kubilang pada Ibrahim dan Nurmi kalau aku suka tempat dudukku, aku senang dekat dengan saudara-saudaraku, cuma itu, dan aku tak mau apa-apa lagi.
"Aturannya, satu bangku harusnya di duduki cuma dua orang, dan anak laki-laki dan perempuan punya tempat duduknya masing-masing". Ibrahim berkata begitu sambil tersenyum. Dan senyumnya itu boleh diartikan sebagai bujukan soal-soal sopan santun dan taat aturan, lantas kubilang padanya "Aku belum punya seragam sekolahku, jadi aku disini sekedar menemani saudara-saudaraku".
Ibrahim mengangkat sepasang alisnya kemudian membuang pandangan pada Ibunya. Kulihat Nurmi menarik nafas dalam-dalam yang kemudian ia hembuskan seketika. Ia memberi isyarat pada Ibrahim. Dan aku pun dibiarkan duduk berbaur dengan anak laki-laki. maksudku, dengan Ismail dan Harun
Harun punya serangan baru lengkap dari ujung kaki hingga ujung rambut. Putih-merah mengkilap. Ismail juga lengkap, meski sebagian besar merupakan barang bekas pakai, yang kemungkinan, dulunya itu milik Ibrahim atau kakak sepupuku yang lain.
Di samping kiriku semua serba mengkilap, di samping kanan, lusuh tapi berseragam lengkap, sedangkan aku!. Tak punya satu pun. Kakiku bersandal, karena dibalut kaus kaki jadi sedikit lebih tertutup. Sementara seragam yang kukenakan sekedar seragam rumahan. Baju jahitan Nurmi sendiri, lengkap dengan sehelai selendang yang terus-terusan di lilitkan di kepalaku, bukan di bahu ataupun pinggang.
Sehabis berpamitan dan mendapat ucapan terimakasih dari ibunya. Ibrahim mengucak-ucak kepalaku dan berkata "Tidak boleh bandel!. Kita sudah janji kan?" Aku menganggukkan kepala padanya sebagai jawaban. Dan ia pun melakukan hal yang sama pada Ismail dan Harun. Sebelum betul-betul pergi, Ibrahim mencabut topi kepunyaannya Harun dan mencantolkannya di atas kepalaku. Aku hendak menegur Ibrahim soal sikap sembrononya ini tapi dengan segera ku batalkan waktu melihat Harun senyum-senyum saja – Kukira, Harun sedang mengira kalau dirinya sedang dijahili – topi miliknya kucantolkan kembali keatas kepalanya sebelum ia menyadari sesuatu yang lain.
Setelah Ibrahim pergi, Nurmi mengontrol sepenuhnya keadaan kelas. Dan aku pun mendapatkan pelajaran pertamaku di bangku sekolah: Duduk manis di bangkumu, dengarkan apa kata gurumu, dan jangan nakal.
Pelajaran di hari-hari berikutnya kurang lebih begini: Entah siapa yang berinisiatif duluan, bocah-bocah ini mulai teringat pada kebiasaan-kebisaan buruk mereka sehari-hari: bicara ini dan itu, mengeluarkan mainan, dan binatang piaraan. Ada yang mengeluarkan lipan seukuran jempol, kumbang pengerat bertanduk tiga, belalang semba, ular malas, dan kupu-kupu dengan bentangan sayap hampir sejengkal tangan orang dewasa.