Maya Laiden

S. Po Singki
Chapter #5

Menjinakkan Laba-Laba

Mungkin karena kami masih bocah ingusan, maka apa pun yang dikatakan oleh Televisi, kami percaya apa adanya. Kalau di layar kaca tiba-tiba saja muncul orang yang bisa terbang kesana kemari lengkap dengan sayap nyamuk ataukah sayap lalat di punggungnya, maka kami percaya betul bahwa di belahan bumi nan jauh disana, orang-orang sudah bisa membikin sayap nyamuk dan sayap lalat. Nanti, tinggal kau selempangkan ke punggungmu persis seperti mencantolkan baju di badan, dan kau pun bisa terbang kesana kemari sesuka dan sekehendak hatimu seperti nyamuk atau lalat.

Ibrahim kakak sulung kami suka sekali bermain-main dengan kepercayaan kami yang teramat sakral ini. Suatu hari ia melihat harun mengikatkan sarung di punggungnya kemudian loncat kesana kemari seperti bebek muda yang baru pertama kali belajar terbang.

Harun sudah bersalto, loncat kodok, dan jungkir balik disana-sini tapi tidak juga bisa terbang. Di lantai rumah yang sebagian besar terbuat dari kayu merbau yang di haluskan, keringatnya sudah tercecer dimana-mana. Mungkin karena bosan dan tak juga kunjung bisa terbang, maka Harun melepas sarung dan menyambar benang jahit kesayanga Nurmi. 

Deri gelagatnya, tengok kanan tengok kiri - rupanya dapat ide bagus dia. Dan... Oh, mau bikin jaring rupanya!

Benang ia untai sedemikian rupa, bahkan sampai-sampai memintaku memegang beberapa bagian. Merasa belum cukup, ia meminta Ismail untuk memegang bagian yang lain. Tapi, alih-alih membuat jaring, ia malah merusak satu gulungan penuh benang jahit. Ibrahim mengambil benang-benang yang sudah kusud itu, dan mencoba membuangnya jauh-jauh. Nurmi pasti mengomel besar kalau tahu benang kesayangannya talah jadi kusud dan tak mungkin lagi untuk digunakan. Harun yang kehilangan mainan kesayangannya sudah hampir menangis tapi tidak jadi karena Ibrahim buru-buru bersikap seolah-olah baru saja menemukan sesuatu yang sangat menarik.

"Nah, Harun ini...!, katanya sambil menepuk-nepuk pundak Harun yang cemberut. "sudah sejak lahir, ia gemar sekali menelan ulat sagu, mungkin sepuluh tahun yang akan datang, Harun jadi Superhero Ulat Sagu". Harun girang alang kepalang, mimpinya jadi superhero mendapat dukungan.

"Kalau Ismail mungkin jadi Superhero Laron, dia sudah memangsa jutaan Laron" kataku menyumbang ide.

"Tak apa aku jadi laron, tapi sebelum jadi laron, kau pasti lebih dulu jadi jamur!" Ismail memprotes usulanku yang membuat kakaknya, Ibrahim tertawa seperti orang yang sedang kelakar.

Ismail agaknya tersinggung dengan sumbangan ideku. Ini jarang sekali terjadi. Maksudku, setelah pertengkaran besar kami sewaktu bibi Hasna berkunjung terakhir kali, aku dan Ismail tak pernah lagi terlibat dalam pertengkaran serius. Walau Ismail lebih tua beberapa bulan dari usiaku, tapi ia tak pernah membantah perkataanku. Sebagai yang lebih tua, hak-haknya untuk membantah sering sekali ia acuhkan.

Sebetulnya aku ingin sekali mencandai saudaraku yang penurut ini, sikapnya yang tak banyak tindak-tanduk kadang membikin aku merasa gemas padanya. Ya, tapi apala mau di buat, aku terlanjur berucap seseuatu yang tidak pada tempatnya. Aku sudah mau minta maaf, tapi urung kulakukan karena sesuatu tiba-tiba saja gentayangan di kepalaku.

Biasanya persoalan semacam ini kalau tidak ku ungkapkan, maka ia akan terus menggelitik dikepalaku, dan terus akan menghantuiku kemanapun aku pergi, bahkan sampai terbawa kealam mimpi. Aku tak punya pilihan lain kecuali mengungkap segalanya, seterang kecakapan yang kumiliki dalam berbicara saat menerangkan sesuatu. Lantas, kukatakan pada semua yang ada disitu: "Bukan begitu caranya, harusnya ulat yang menggigit Harun". Sejenak aku ambil nafas sambil memikirkan beberapa kemungkinan, setelah merasa mantap aku melanjutkan kata-kataku seperti ini: Tapi tetap saja tidak mungkin jadi superhero, sebab ulat sagu tidak memiliki racun. Harus ada racun yang menjadikan sesuatu didalam tubuhmu mengalami perubahan. Nanti kalau sesuatu yang mirip anak-anak tangga itu berubah, baru bisa jadi superhero. Ingat...!, harus keracunan dulu baru bisa jadi superhero.

"Anak tangga yang mana?" Herun bermuka bloon

"Entahlah, pokoknya di film bentuknya seperti anak-anak tangga spiral yang berwarna-warni"

"Mungkin usus dalam perut yang kau maksud" Ismail memberi pilihan ide

"Tak tahulah aku apa namanya, tapi ia ada dalam tubuh manusia, kalau benda itu beruba, baru bisa jadi superhero". Waktu melihat bahwa sepupu-sepupuku tidak begitu paham pada apa yang aku katakan, dan aku sendiri sebetulnya lebih tidak paham lagi pada apa yang baru saja aku omongkan. Maka kukatakan pada mereka, supaya mengakhiri saja semua omong kosong ini. Tak ada gunanya mendebat sesuatu yang bahkan namanya saja tidak kalian ketahui.

"Bagaimana kalau kita tanding berburu laba-laba saja, siapa yang laba-labanya paling besar dan paling beracun dia yang menang" Harun memberi ide. Kulihat Ismail dan Ibrahim sama sekali tidak keberatan

"Kuhitung sampai sepuluh ya!" Ibrahim berkata sambil berdiri, memasang kuda-kuda siap lari, ia sampai melengkungkan badan seumpama seorang pelari profesional.

"Sepuluh". Harun langsung melesat, di susul Ismail.

"Hitungan macam apa itu?"

"Kau bakal kalah besar kalau terus cemberut seperti itu, " Sehabis berkata begitu Ibrahim tancap gas. Seolah-olah tak mau kalah oleh Harun dan Ismail yang sudah melesat duluan.

Aku berlari di belakang Ibrahim, sambil berlari aku berteriak pada Ismail dan Hanrun yang sudah menghilang entah kemana. "Yang takut laba-laba, boleh menangkap Luwing...!".

Aku memberi usul tambahan. Soalnya, teman sekalasku pernah berkata begini: Gigitan laba-laba tidak akan berbahaya bagi anak laki-laki, paling sekedar lebam seperti bekas gigitan nyamuk, kalau sedikit mujur, bakal kejang-kejang ayan, atau kencing di celana, dan sejenisnya. Tapi, bagi anak-anak perempuan - mereka tidak mengalami kejang-kajang dan kencing dicelana, di permukaan tampak sekedar lebam, tapi saat subuh tiba dan ayam mulai berkokok, lidahmu perlahan menjulur, yang pada akhirnya akan bercabang mengikuti jumlah rumbai laba-laba yang menggigitmu, saat itu cara bicaramu langsung berubah jadi aneh, setiap kali kau bicara, setiap itu juga kokok ayam terdengar dari bibirmu. Dan sejak saat itu,disepanjang hidupmu, kau akan terus berkokok seperti ayam setiap waktu subuh tiba.

Sebetulnya aku sama sekali tidak percaya pada omong kosong ini, tipikal omong kosong bocah ingusan. hanya saja, dalam hematku, lebih bijak untuk berjaga-jaga (aku sudah cukup menderita berurusan dengan ayam, kelak akan kuceritakan soal ini). Berjaga-jaga bukanlah hal yang merepotkan, tak lebih dari sekedar: Beli payung sebelum musim hujan - sangat sederhana dan tidak merepotkan.

Aku menemukan buruanku tak jauh dari rimbunan pohon pisang yang tak pernah mendapat perhatian dari siapapun kecuali kalau tumbuhan ini menghasilkan buah dan jangtung buahnya menggoda seseorang untuk membikin sayur. Disekitarnya semak belukar tumbuh ria, saking suburnya, semak belukar ini seolah-olah mau menelan rumpun pohon pisang yang menjulang tinggi.

"Nah itu dia". Perut gendut, kaki kurus-kurus dan merentang kesegala penjuru. Bobo manis dia diatas jaring kuning keemasan yang membentang sejauh dua meter. Kalau aku menangkap yang ini, pasti tangkapanku yang paling besar.

Dua buah tongkat penjinak sudah siap di masing-masing tanganku, kiri dan kanan, panjangnya kurang lebih satu meter. kuambil secara serampangan dari batang-batang perdu yang sudah mengering.

Aku menjolok sekali dan menggetarkan jaring tapi tak mengenai sasaran, si laba-laba menggerak-gerakkan sepasang kaki belakang. Kujolok untuk kedua kalinya, dan ia cuek bebek, kemudian meggeser sedikit pantat gendutnya agak menjauh dari tongkat kecilku. Ia menghadap langsung kearahku. Eneh, kok tidak lari terbirit-birit ya?. Masa iya, paman Muttaqin membual soal cara menaklukkan laba-laba?. Aku menjolok untuk ke tiga kalinya dan si gendut ini malah semakin sigap, sikapnya itu mirip sekali dengan induk ayam yang sedang terserang penyakit khawatir berlebihan terhadap anak-anaknya, sikap pantang gentar berhadapan dengan apa pun. Bulu kudukku seolah-olah bergidik dengan sendirinya waktu melihat rumbai-rumbai di milut si laba-laba bergerak-gerak.

Mungkin ia mau mengatakan sesuatu padaku. Atau barangkali juga, ini semacam tata krama para penghuni semak belukar yang sepatutnya di ketahui oleh para pengunjung baru dan asing, semacam maklumat standar yang kira-kira bermakna seperti ini: urus dirimu sendiri nak..., sekarang bukan jam untuk bercanda... sekedar untuk di ketahui...saya baru saja mengunya lalat mentah-mentah, menu pembuka kesukaan saya - Di alam rimba semak belukar, tak ada jadwal makan yang teratur...tapi ada pepatah yang berlaku disini: Semakin besar tangkapanmu, semakin sejahtera hidupmu...Nak!, jangan bilang saya belum mengingatkan. Baiklah, aku mengerti dan paham semua perkataanmu, kali ini anggaplah keberuntungan sedang di pihak mu, sabab aku belum sempat membeli payung untuk musim penghujan nanti.

Aku balik badan, berputar-putar mengelilingi semak sambil harap cemas kalau-kalau ada jenis lain yang sedikit lebih ramah, hanya saja setiap kali aku menemukan sarang laba-laba, penghuninya yang rata-rata gemuk ini seperti pandai membengkakkan badan dengan cara yang begitu ajaib, aku sudah menandai setidaknya ada tujuh titik sarang, dan kurang lebih tiga atau empat varian laba-laba. Entahlah, aku sendiri masih ragu soal ini, sebab aku cuma membedakan mereka berdasar warna, dan bentuk pantat mereka yang sedikit agak berbeda.

Lihat selengkapnya