Pada mulanya aku menganggap bahwa buku tak ada bedanya dengan benda-benda sederhana seperti: gelas, piring, sarung, baju, selimut atau apapun itu, yang nantinya bakal dirapikan dan dimasukkan kedalam lemari kalau sudah dipakai. Di waktu yang lain juga aku mengganggapnya sebagai bantal tidur karena sering sekali melihat Nurmi tertidur lelap di atasnya.
Jadi, di rumah kakekku, Ganggu, yang tak tahu-menahu menulis dan mengeja aksara Latin, buku bukanlah barang istimewa, yang baru boleh dibeli kalau mau masuk sekolah, kalau tahun ajaran baru sudah tiba, atau semacam barang antik yang segel plastiknya tak boleh sembarang disobek karena takut kualat - semacam terpapar karma pamali.
Entah ajaran dari siapa, tapi yang kudapatkan sehari-hari adalah buku tak ada bedanya dengan benda-benda remeh yang saya sebutkan di atas.
Hal lain yang kemudian menjadikan buku mendapat tempat dalam kegiatanku sehari-hari adalah: Karena dari buku, aku jadi tahu kalau ternyata hewan juga bisa bicara, bahkan mengobrol santai layaknya manusia - Mereka juga suka bermain semisal; loncat tali, petak umpet, lombah lari, adu gaya renang, bahkan ada dari mereka yang pandai menyelesaikan soal-soal rumit. Beberapa di antara mereka yang pintar-pintar itu, ada yang jadi penemu hal-hal luar biasa, semisal: listrik, gerigi mekanika, lampu neon, dan masih banyak lagi.
Sebetulnya aku tak mampu mengingat secara pasti, di usia berapa aku mulai bisa membaca. Aku baru menyadari hal ini, kalau aku bisa membaca, sewaktu bibi Hasnah datang ke rumah membawah Putri untuk keperluan aqiqah. Waktu itu aku dan Ismail sedang bertengkar hebat soal-soal buku. Persoalannya tentu sangat sepeleh. Tapi, ya begitulah anak-anak, bertengkar tentu persolan biasa, sama biasanya dengan keceriaan yang selalu tersungging disetiap untai senyum di pipi mereka.
Persoalannya sangat sepeleh. Maaf, lagi-lagi harus kukatakan “Ya, begitulah anak-anak”. Kuharap, setelah kalian membaca bagian yang ini, kita semakin akrab satu sama lain. Bila ada titik terang, tolong beri pendapat dan masukan. Pun kalau ada marah, kalian boleh marah padaku. kuharap kita semua bukanlah jenis manusia pendendam.
Begini masalah utamanya: Pada halaman sebuah buku, tergambar sesosok binatang berkaki empat, moncong dan hidungnya hampir-hampir menyatu, daun telinga lancip-lancip, dan dua tanduk yang ujungnya bercabang seperti ranting pohon yang rontok daun-daunnya keseluruhan, di bawah gambar ini terterah tulisan "KATAK", sangat besar. Di baca dari jarak jauh sekalipun, masih sangat jelas. Bahkan kalau dibaca secara terbalik juga, tulisan dan urutan hurufnya tetap sama “KATAK”.
Makanya aku mati-matian mendebat Ismail, memang seperti itulah ajaran Nurmi - Kau punya hak untuk membela pendapatmu. Maksudku begini, kalau aku sedang melakukan sesuatu yang menyenangkan di beranda rumah bersama sepupu-sepupuku yang kadang juga ada paman-pamanku semisal; Lemang, Muttaqin, dan Lari. Atau Ganggu, kakekku sendiri yang ada disitu, minum teh sambil mengawasi kami cucu-cucunya yang sedang bertingkah sekehendak hati. Sementara Nurmi sendiri biasanya berada di ruang baca disaat-saat seperti itu, dengan ke-isengan yang tak terukur, Nurmi menunjukkan halaman buku yang tadi padaku dari bilik ruang bacanya. Kalau Nurmi menjahiliku dengan cara-cara begini, biasanya hasilnya Nurmi sekedar senyum-senyum karena tak berhasil dengan kejahilannya. Aku bisa menebak dengan tepat kata-kata yang sengaja ia acak dan main-mainkan dari balik ruang bacanya. Huruf dan kata latin apa pun yang ia tulis, semua bisa kubaca.
Berdasar pada pengalamanku yang sering dijahili Nurmi, jadinya aku mendebat sengit Ismail dan bersikukuh kalau gambar di halaman buku itu adalah katak, karena begitulah keterangan yang tertulis di sana. Ismail sendiri setuju dengan tulisan yang ada disitu, tapi ia tidak setuju dengan pandanganku soal gambar yang ada pada halaman buku itu. Saking sengiknya pertengkaran kami, Putri yang baru berusia hitungan hari sampai-sampai terbangun dari tidurnya dan menangis.
Nurmi menyambar tubuhku dan membawaku ke beranda rumah, sementara Ismail di ciduk Lemang, ayahnya. Ia di amankan di kamar pribadi Nurmi.
Di beranda aku cukup lama terisak-isak, rambutku sempat di tarik-tarik dan aku masih merasakan denyut ngilu di kepala sebelah kiri. Tapi, nyeri ini tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan nyeri di jari-jariku yang sempat mencakar entah apa. Nurmi diam saja sambil menungguiku selesai menangis. Sesekali ia berjalan hilir-mudik di beranda sambil membopong dan menepuk-nepuk punggung kecilku. Kadang-kadang juga Nurmi harus bergeleng-geleng pada para tetangga yang datang untuk menyempatkan diri bertegur sapa karena mendengar ribut-ribut yang tidak lazim barusan.
Buat mereka yang bandel dan mulai belajar cerewet, anak-anak dari para tetangga tentunya, yang suka sekali bertanya ini dan itu, padahal bukan pada tempat yang tepat. Nurmi menghadia mereka senyuman sebagai pertanda - segala sesuatunya aman terkendali, tak ada yang perlu di khawatirkan.