"Ilmu boleh saja datang dan pergi dari ingatan anak didikmu. Tapi, kelakuanmu akan terus membekas!"
Nurmi tidak pernah segan memarahi siapa pun. Guru-guru di sekolah, termasuk paman Lari. Juga pada anak-anak yang Nurmi anggap mulai belajar berbohong. Hanya saja, dalam banyak kondisi, Nurmi seringkali memilih berpihak pada anak-anak. Kalau pun Nurmi perna marah pada anak-anak, tentu peristiwa semacam itu amat langka dan jarang sekali terjadi.
Para tetangga dekat rumah hampir seluruhnya pernah ia marahi, terutama bagi mereka yang suka sekali menjewer, membentak, atau menyepak anak-anak mereka. Dalam urusan semacam ini, Nurmi sama sekali tidak segan mendatangi rumah siapapun.
Sepertinya, Nurmi pernah salah makan sesuatu, sehingga telinganya jadi sangat sensitif terhadap keluhan anak-anak. Kalaupun kau tidak mengeluh di hadapan Nurmi, karena barangkali kau termasuk dari jenis manusia yang pandai menyimpan rapat-rapat pedihmu. Tapi kelakuan dan tindak-tandukmu sehari-hari tak mungkin bisa kau sembunyikan darinya. Ibarat kemana telapak kakimu pernah berpijak, kau tak mungkin bisa mengingat semua itu. Dari gelagat dan kelakuanmu sehari-hari, Nurmi bisa dengan mudah menebak apakah kau termasuk anak didik yang sekedar bandel ataukah sudah jadi anak didik yang salah urus: nakal.
Kalau Nurmi sering dekat-dekat denganmu, itu artinya kau anak bandel. Tapi kalau Nurmi sudah mendatangi rumahmu dan memarahi orang tuamu. Maka berhati-hatilah, mungkin kau sudah jadi anak nakal tanpa kau sadari.
Bagi Nurmi, nakal dan bandel itu merupakan dua hal yang sangat berbeda. Dialah orang yang paling bersikukuh kalau semua anak manusia tidak mungkin dilahirkan dalam keadaan nakal, melaikan mereka lahir dengan sifat sedikit agak bandel saja. Catat!, sedikit agak bandel saja. Jadi, mereka tak boleh dibentak, ditampar atau dijewer-jewer telinganya sesuka hatimu kalau kau sedang marah-marah.
Menurut pendapat pribadi Nurmi, seperti yang sering ia sesumbarkan kesemua orang: nakal itu pada umumnya menimbulkan keresahan. Tapi soal bandel, efeknya sangat jauh berbeda, ia cenderung menggiring kita pada kekhawatiran. Jadi semakin bandel mereka, anak-anak itu. Itu artinya semakin baik. Si-pengasuh anak cukup mencurahkan pikiran dan perhatian yang lebih saja, masalah selesai. "Yakinlah!, anak didikmu tak bakal tumbuh kearah yang keliru hanya karena mereka bertingkah bandel. Justru sangat boleh jadi, ketika hal semacam ini terjadi, anak didikmu sedang kesulitan mencerna seluruh kata-katamu secara utuh".
Di ujung marah-marahnya, bisanya Nurmi bakal bilang begini pada semua orang yang ia temui: Nakal itu tidak tepat dialamatkan pada anak-anak yang belum memasuki usia remaja, batas antara benar dan salah masih kabur dikepala mereka. Kalaupun praktek-praktek keliru semacam ini terlanjur mendarah daging, sehingga terkesan biasa dan lumrah adanya dalam kehidupanmu sehari-hari. Maka sudah sepatutnya, ia harus segerah diakhiri. Sebab, ketidak jujuran semacam inilah yang seringkali tanpa disadari, terus-menerus ditutupi, supaya ada kesan kalau kau sudah mendidik anak-anakmu secara baik dan cukup disiplin.
Dalam praktek sederhananya, supaya kau berada dipihak yang benar, maka kau harus menghukum atau menjewer telinga anak didikmu. Dengan begitu, kau akan terlihat lebih pintar dan tak memiliki beban apa-apa ketika kau mengatai mereka bodoh. Bukankah ini semua adalah kecurangan yang begitu sempurna?. Anak didikmu mana bisa membantah semua itu.
Apa jadinya nanti?. Jikalau anak-anak ini tak lagi punya pilihan. Hanya karena takut telinganya bakal dijewer, takut pipinya kena tampar, ataukah senyum dan keceriaan yang selalu tersungging diwajah mereka menghilang seketika karena terlalu sering dibentak- bentak. Pada akhirnya, mereka pun terpaksa memilih bohong. Padahal, kita semua tau: Bohong itu adalah candu yang sangat memabukkan. Sementara anak didikmu, sepenuhnya berguru pada segala tindak-tanduk dan kelakuanmu sehari-hari.
“Mama!, kau jangan keseringan ikut campur urusan orang” Kata-kata sejenis ini sering kugunakan untuk menasehati Nurmi supaya tidak terlalu jauh ikut campur urusan orang.
Dengan santainya Nurmi bilang begini padaku: Kau tau?. Untuk menutupi satu kebohongan, dibutuhkan minimal satu kebohongan yang lain!. Parahnya lagi, kenyataan hidup sehari-hari seringkali memaksa kita berkesimpulan bahwa: jujur itu tak lebih dari sekedar buah simalakama, pangkal perkaranya pasti berujung getir, sehingga memilih untuk tidak jujur jauh lebih menjanjikan, seolah-olah semua masalah serta masa depanmu bakal jauh lebih cerah ketika kau memilih bohong. Kalau ditanya kenapa mesti begitu?. Mungkin dengan santainya kau akan berkata: Bukankah dalam kokndisi tertentu, jujur pada diri sendiri saja, terkadang hampir mustahil bisa dilakukan. Kalau kenyataan yang kita hadapi sehari-hari persis seperti ini. Lantas bagaimana dengan anak didikmu?, bisa apa mereka dihadapan realitas semacam itu?.
“Haiz..., dinasehati malah membantah!”
“Terimakasih” katanya. Seraya menggandeng bahu ataukah kepalaku kedalam dekapannya. Dalam kondisi seperti itu, bisanya Nurmi bakal bilang begini: “Tidak rugi saya punya anak perempuan, biar pun cuman kamu satu-satunya”.
Ketika kami tiga saudara sepupu resmi tercatat sebagai murid baru, Nurmi membikin kehebohan yang membuat kepela sekolah sekalipun tak bisa berbuat apa-apa, bahkan pengawas sekolah dari kabupaten hanya bisa geleng-geleng kepala.
Nurmi menjatuhkan pangkatnya dari guru kelas 6 menjadi guru kelas satu dan kelas dua. Karena sekolah kami kekurangan ruang kelas. Maka Nurmi terpaksa mengajar anak kelas satu dari jam 07.15 - 11.00, setelah itu Nurmi lanjut mengajar anak kelas dua pada pkl 11.15 - 15.45.
Kehebohan ini berlanjut lagi dua tahun berikutnya, ketika aku dan sepupu-sepupuku naik ke tingkat tiga, ia menaikkan pangkatnya secara semena-mena menjadi guru kelas tiga, menggeser guru kelas tiga hingga turun pangkat ke guru kelas satu dan dua, begitu seterusnya hingga aku duduk di tingkat empat. Dan kukira, tahun berikutnya, dia akan menaikan pangkatnya lagi menjadi guru kelas lima. Guru yang sekarang mengajar di kelas lima harus mulai was-was turun jabatan ke kelas empat.
Kalau ada guru yang merasa keberatan dengan keputusan-keputusannya ini, itu artinya mereka secara terang-terangan meminta Nurmi berhenti mengajar di sekolah kami, parahnya lagi, orang-orang dari kabupaten sering sekali datang dan mengajak Nurmi untuk mengajar di salah satu sekolah unggulan yang ada di kota kebupaten nan jauh disana. Andai kata Lemang sekali saja keceplosan berkata "iya". Bisa jadi, Nurmi sudah lama mengajar di kota kabupaten.
Kadang aku bertanya-tanya: Sebetulnya apa sih yang istimewa dari Nurmi, orang-orang kabupaten kok senang sekali tunduk-tunduk di hadapannya. Belakangan aku baru tahu, kalau dulunya Nurmi memang guru jempolan di kota Kabupaten, bahkan nama besarnya ternyata ia peroleh di kota kabupaten, ia berhenti mengajar di salah satu sekolah unggulan disana sejak Salma, perempuan yang melahirkanku pergi dari rumah.