Mayat Terakhir

yulisaputra
Chapter #5

Bagian 4

Aska menyiapkan beberapa berkas penyidik ke atas meja interogasi. CCTV telah diaktifkan dan dua detektif lain termasuk Alif ada di ruang sebelah, mengawasi lewat kamera. Lima menit telah berlalu, Bu Linah menghabiskan permennya lalu membuang bungkus itu ke bawah meja.

Aska hanya melirik, malas menegur. Itu hanya masalah kecil. Kebanyakan saksi harus berada dalam mood yang baik agar mau bicara. Sebagai ibu korban, Bu Linah tidak punya emosi berlebih. Ia tidak menanyakan perkembangan kasus anaknya atau memberi informasi penting. Wanita berkulit sawo matang itu malah asyik dengan dunianya sendiri. Benar-benar berbeda dengan kesan pertama saat melaporkan kehilangan Jen.

“Saya akan mulai dengan jam kepergian Jen dari rumah,” kata Aska mengambil kertas di urutan paling atas.

“Jumat, jam lima sore. Jen memakai rok setinggi lutut dan tank top warna kuning gading.” Bu Linah menanggapinya tak serius. Ia menatap ke CCTV sebentar sebelum mengambil permen mintnya lagi.

“Baik, apa ibu punya informasi lain? Misal masalah pribadi dengan seseorang? Dari banyak kemungkinan, anak ibu sepertinya punya musuh.”

Mata wanita itu bergerak, menatap Aska cukup lama.

“Tidak. Jen gadis baik. Mana mungkin dia punya musuh,” sahut Bu Linah menaikkan nada suaranya. Aska tergelak dalam hati. Dari hasil wawancara, warga sekitar justru bersaksi kalau Jen kerap pergi ke klub. Pulang pagi dan sekolah terlanjur tidak peduli. Padahal, dulu Jen termasuk siswa cerdas. Bahkan untuk kalangan biasa, ia mampu mendapat bea siswa di sekolah internasional. Sayang seribu sayang, belum setahun mencicipi fasilitas pendidikan kaum burjois, Jen sudah dikeluarkan.

“Bagaimana dengan temannya?” tanya Aska menguji kejujuran bu Linah. Sebenarnya ia sudah banyak mengumpulkan info, tinggal dicocokkan saja. Saat lengah, Aska akan mengeluarkan puluhan pertanyaan jebakan. Itulah yang ia pelajari untuk menggali fakta tersembunyi.

Bu Linah tak segera menyahut. Ia mengunyah permen dalam mulutnya keras-keras hingga bunyinya mengganggu.Detektif yang mengamati di luar mulai bosan karena jawaban yang diberikan berbelit-belit.

“ Saya sibuk mencari nafkah jadi kami kekurangan waktu untuk bicara. Tapi seingat saya terakhir ia membawa pulang temannya saat SMP. Di sekolah baru dia merasa berbeda, jadi susah bergaul,” gumamnya menghembuskan napas dalam-dalam. Aska tahu, ada kesedihan di sana. Memang benar menerima bea siswa tidak sepenuhnya menyenangkan. Ia sendiri pernah menjadi korban bullying karena mendapat tunjangan pendidikan di akademi polisi. Yah, itu cerita lama.

“Lif, kamu temani Aska, sana! Kita bisa kena masalah kalau ibu korban tidak bisa diajak kerja sama,” celetuk detektif lain yang duduk di ruang kontrol cctv. Alif mengangguk enggan. Perutnya sering sakit kalau harus berteriak-teriak pada orangtua. Baginya bu Linah mirip ibu korban pada kasus lama. Dulu mereka pernah mendapat kasus penusukan yang berakhir kematian. Waktu itu karena terlalu bernafsu mengungkap pelaku, ibu korban mengalami desakan yang berlebih. Seminggu kemudian ia bunuh diri.

...

Sementara itu, di tempat terpisah Den ditemani Rud mendatangi gubuk Walang, pria lajang berumur 40 tahun yang hidup di tepi sungai Jati. Jarak dari TKP menuju kediaman lelaki hitam itu cukup dekat. Hanya lima menit berjalan kaki. Hanya saja jalanannya cukup licin karena faktor kelembapan yang berbeda. Sudah pasti penghuni rumah sekitar situ tidak bisa punya kendaraan bermotor. Medannya terlalu berat. Mobil polisi yang biasanya diparkir tak jauh dari lokasi, harus ditinggalkan di balai desa.

Tapi perjuangan dua polisi itu belum selesai. Sesampainya di sana, sosok pria itu tidak ada. Kandang sapinya pun dibiarkan terbuka. Menebar bau kotoran kemana-mana. Di lihat dari situasinya, kemungkinan si empu rumah sedang pergi sebentar. Benar saja, lima menit kemudian, Walang muncul dari arah hulu. Membawa ember besar di kedua tangannya.

Lihat selengkapnya