Bu Linah memandang foto Jen dalam gelap. Mengelusnya beberapa kali sebelum dibuang ke keranjang sampah.
Beginikah hasilnya jadi orang tua tunggal? Bisiknya menatap barang peninggalan Jen kesal. Kamar itu seakan bercerita kalau hidup anak gadisnya dipenuhi kesia-siaan. Andai saja bea siswa sialan itu tidak diambil, Jen mungkin saja masih hidup--meski hanya belajar di sekolah negeri.
Lingkungan di sekolah anak-anak kaya merubah pribadi Jen menjadi kasar dan pemarah. Bu Linah tahu benar, ada sesuatu yang terjadi. Dulu ia sering mendapati Jen pulang dalam keadaan kacau. Kotor dan kadang ada beberapa lebam. Banyak alasan yang diutarakan. Dari ekstra kulikuler bela diri hingga jatuh saat latihan basket. Semuanya memang terdengar klise, tapi tidak ada yang bisa bu Linah lakukan. Ia lagi-lagi sibuk mencari nafkah. Semenjak pindah sekolah, Jen banyak permintaan. Dari tas hingga uang saku yang naik tiga kali lipat. Kalau dipikir-pikir tunjangan bea siswa, jumlahnya tidak seberapa.
Kini, bu Linah sudah lelah. Entah Jen korban bullying atau pembunuhan, ia benar-benar ingin istirahat.Toh, nyawa tidak akan pulang meski tersangka menerima hukuman. Terlebih, anak itu tidak pernah menghargai kerja kerasnya.
“Maafkan ibu Jen. Orang itu mungkin hanya ingin menolongmu. Kematian justru membuatmu tidak perlu menanggung beban seberat ibu,” gumam Bu Linah meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Tidak ada kesedihan sedikitpun dari suaranya.
Jejak dalam ruangan ini harus dihapus. Dibuang atau disumbangkan ke panti asuhan. Cepat atau lambat, akan ada detektif datang untuk melakukan penyelidikan silang. Interogasi kemarin tidak berjalan lancar karena bu Linah menolak bicara.
Siapapun pembunuh itu, ia tidak sepenuhnya salah. Orang tidak berguna, memang pantas mati, kan?
----
Kantor polisi, bagian devisi kriminal.
Aska sejak tadi sudah ada di sana, berdiri sambil menikmati rokok terakhir. Toilet belakang kantor tengah diperbaiki, jadi lorong itu benar-benar kosong. Hanya satu dua orang yang terpaksa kembali sambil menahan kencing. Entah apa yang Aska perbuat dalam gelap. Bayangannya bersandar di pinggiran lorong sembari bergumam tentang sesuatu.
Satu jam lalu kepala polisi memberi mandat agar kasus Jen dilimpahkan ke kepolisian wilayah. Seluruh penyelidikan terpaksa dihentikan. Tidak ada siapapun yang berani membantah. Rud yang biasanya paling vokal, memilih untuk diam. Sebaran foto korban di media sosial membuktikan kalau mereka gagal mengamankan TKP. Itu saja sudah cukup membungkam mulut semua orang.
“As, kamu ngapain di situ? Dicari sama Rud,” tegur Den dari jauh. Ia diberitahu petugas kebersihan kalau Aska menghisap rokok di pojokan. Sebagai detektif pemula, wajar kalau Aska kecewa. Ia orang pertama yang menemukan kasus Jen. Apalagi kemarin Rud sempat memberinya tugas investigasi.
Aska menyembunyikan seringainya dalam gelap . Rokok di tangan habis, tapi suasana hatinya tidak juga membaik. Panggilan Rud melengkapi segala kesialan itu.
“As?”
“Iya sebentar,” sahut Aska buru-buru mengubah mimik wajahnya. Rokok itu ia buang sembarang. Toh, gelap tidak ada yang akan memprotesnya.
“Kamu dengar sesuatu nggak?” tanya Den menatap lorong gelap di belakang Aska.