“Korban bernama Abas, umur 35 tahun.” Aska menyeka darah pada pergelangan tangannya gusar. Ia adalah orang pertama yang menemukan pria dengan luka tusukan di dekat bak sampah. Identitas di dompet menjadi petunjuk awal. Rud, Den dan Alif berinisiatif untuk memasang garis polisi.
Sepuluh menit setelah ambulans datang, Kerumunan orang langsung menyemut. Mereka yang awalnya dilarang keluar karena ada pencarian terduga pembunuh, melongokkan kepalanya dari teras rumah.
Rud tidak habis pikir dengan kecerobohan Aska. Seharusnya ia tidak langsung menyentuh sembarangan. Beruntung itu bukan kasus pembunuhan. Ada setitik harapan karena korban masih hidup. Selain jejak sepatu, sisa DNA pembunuh yang mungkin tertinggal, kini berbaur dengan sidik jari Aska. Entah bagaimana kejadian itu akan dijelaskan nanti. Rud merasa gagal menjadi seorang pimpinan. Tiga kasus kriminalitas yang saling berhubungan kini bertumpuk di kepala, tidak ada titik penyelesaian.
....
Di kamar mandi rumah sakit, Aska melepas kemejanya terburu-buru. Alif ikut menunggu sebentar sebelum berakhir memasukkannya ke kantung khusus penyimpanan barang bukti. Mereka gelisah, menatap wajah kusut masing-masing di kaca wastafel.
Sepanjang perjalanan menuju ruang ICU, Alif sesekali bergumam, menenangkan Aska kalau Rud pasti bisa mengatasinya. Tapi dari segala hal, darah korban lebih mengganggu, amis sekaligus busuk. Wajar memang, tubuhnya saja berselimutkan sampah. Kalau Aska tidak tersandung, mungkin pria itu sudah mati karena kehabisan darah.
“Berikan padanya,” kata Rud sesaat setelah Alif dan Aska menghampirinya di lorong rumah sakit. Ia baru saja berbincang singkat dengan ketua tim forensik. Dugaan awal sudah benar, tidak ada anggota baru. Korban bernama Abas memang penyusup yang sedang mencari sesuatu. Tapi Rud tidak menemukan alasan kenapa sampai ada penusukan. Kalau terjadi sesuatu pada Abas, penyelidikan akan menemui jalan buntu.
Ketua forensik itu berpamitan setelah menerima kantung barang bukti. Sosoknya menghilang ditelan belokan lorong.
Suasana berubah hening. Lalu lalang perawat juga dokter jaga sudah mulai sepi. Pergantian shift malam sebentar lagi tiba. Tidak ada lagi kesibukan seperti saat pertama kali mereka membawa Abas di UGD tadi. Aska yang tahu diri, pelan-pelan menyingkir, berjongkok di pojokan. Rud hanya menghela napas panjang. Ia tidak mungkin terus memarahi Aska. Seorang pimpinan tim, harus mau mengakui kelalaian anak buahnya sebagai kesalahan sendiri. Aska masih ada di tahun pertamanya, jadi bisa sedikit ditoleransi. Terlebih Alif bersaksi kalau ada unsur ketidak sengajaan.
“Den belum pulang juga?” tanya Rud memecah hening. Ia menugaskannya untuk menyisir TKP ulang bersama detektif lain. Sudah hampir dua jam sejak terpisah, tapi belum ada kabar susulan.
Alif buru-buru mengeluarkan ponselnya. Benar saja, ada beberapa panggilan tidak terjawab. Den pasti menghubunginya beberapa kali tadi. Tidak mungkin melapor langsung, ponsel Rud sengaja dimatikan untuk menghindari omelan Remon.
“Apa katanya?” Rud menatap penasaran. Ia berharap bukan kabar buruk. Sudah saatnya mereka menemukan sedikit petunjuk. Aska ikut berdiri tegak, menunggu dengan wajah tegang.
“Dia bilang, tim penyisir menemukan sisa barang bukti yang dibakar,” kata Alif memperlihatkan isi pesan Den. Selain bekas seragam forensik, terlihat sisa kaos juga catatan kecil yang setengahnya telah menghitam.