Mayat Terakhir

yulisaputra
Chapter #17

Bagian enam belas

Seharian ini Jenar menemani Puspita ke rumah sakit. Pemeriksaan rutin untuk jantungnya selalu terjadwal di akhir bulan. Kebetulan kali ini tepat di hari libur, jadi tidak masalah kalau sekalian refreshing. Jenar sendiri butuh waktu untuk memulihkan kinerjanya yang akhir-akhir ini menurun. Banyak yang harus ia lakukan agar minatnya di bidang lalu lintas bisa dipertahankan. Paling tidak, laporan tentang pelanggaran berkendara bisa diselesaikannya tepat waktu. Atasan Jenar sering memergoki gadis itu lebih fokus pada kejahatan jalanan daripada para pelanggar rambu-rambu. Tak terhitung berapa kali ia harus berurusan dengan detektif bagian kriminal karena membantu penyelidikan tanpa ijin.

“Mbak, makan siang yuk? Sekalian aku mau ketemu temenku,” ajak Jenar selepas Puspita menyelesaikan pembayaran rumah sakit. Padahal mereka baru saja makan sandwich. Tapi karena tidak enak, Puspita setuju. Terakhir waktu yang mereka dihabiskan di meja makan membuat keduanya canggung. Meski Jenar sendiri mengatakan kalau pertanyaan itu hanya sekedar candaan, tapi sikapnya menjadi sedikit berbeda. Puspita penasaran kalau ia mau terbuka, apa Jenar bersedia bicara tentang pendonor jantungnya. Itupun kalau Jenar tidak menganggapnya aneh.

Lima menit setelah pesanan soto diletakkan di atas meja, seorang pria masuk, menghampiri mereka. Ia lebih dulu menyapa Jenar sebelum akhirnya memperkenalkan diri pada Puspita. Itu Alif, yang tengah istirahat makan siang. Di mata Puspita, perawakan gagah Alif tidak sebanding dengan karakternya yang cengegesan. Entah bagaimana pria flamboyan itu bisa bertahan di divisi kriminal. Tapi melihat keakraban adiknya, sudah pasti ada sesuatu. Jenar tidak sembarang bergaul, terlebih dengan laki-laki.

“Oh, jadi kalian pernah satu angkatan?” tanya Puspita sembari meniupi kuah sotonya.

Alif mengangguk senang, ia menunjuk Jenar dengan tawa khasnya,” Jenar hanya mau bicara denganku.”

“Benarkah? Bukannya karena kamu gampang dimanfaatkan?” sergah Jenar tergelak. Masa SMA mereka memang penuh cerita. Jenar yang sejak remaja jadi primadona, bersembunyi di balik hubungan palsu agar tidak diganggu. Alif mau-mau saja, toh harga dirinya sebagai si peringkat terakhir bisa terangkat naik. Ia hanya perlu berkelahi untuk melindungi Jenar.

Hubungan tanpa status itu kembali datang saat tanpa sengaja Alif terjaring razia lalu lintas. Ya, kebetulan yang konyol. Baru kali ini kena tilang membawa keberuntungan.

“Kasus yang kamu tangani gimana kelanjutannya?” Jenar secara terang-terangan mengatakan maksud sebenarnya mengundang Alif makan siang. Puspita sudah menduganya. Jenar bukan tipe orang yang suka basa-basi.

“Tinggal menunggu waktu sampai kasus itu diambil alih. TKP ada di luar wilayah. Sejak awal karena Saka lah polisi pusat jadi ikut campur. Kamu lihat juga kan? Foto korban bocor ke media sosial.” Alif menaruh beberapa sendok sambal ke dalam mangkuknya. Diam-diam nafsu makannya hilang. Atmosfer di ruang interogasi yang penuh tekanan berhasil mencekik kewarasannya.

Puspita terusik. Bayangan kabur dalam mimpinya membuat teka-teki memusingkan. Mustahil untuk lupa. Tatapan wanita yang ia temui di mimpi kedua sering menerornya saat malam. Memijit kepalanya dalam tidur lalu membisikkan lagu anak-anak. Kalau hanya halusinasi kenapa begitu nyata?

“Mbak? Mbak!” panggil Jenar keheranan. Sejak tadi ia berusaha mengajak bicara kakaknya, tapi tidak direspon.

“Kasus itu-maksudku apa pelakunya sudah ketemu?”tanya Puspita tergagap. Ia hampir menyenggol ujung mangkok sotonya yang masih penuh. Jenar yakin, kakaknya butuh psikiater. Tatapan mata itu terlihat gugup untuk hal yang tidak perlu.

Alif terdiam, tidak menyangka kalau Puspita punya minat yang sama. Kalau Jenar sendiri sudah terkenal dikalangan detektif. Setiap ada kasus rumit, gadis itu akan datang dengan alasan penasaran setengah mati.

 

Lihat selengkapnya