Sejak pertemuan itu, aku langsung dipertemukan dengan Jannah di rumahnya atas undangan Ust. Hisyam. Setelah dari pertemuan tersebut, pengikatan janji suci pun terjadi sebulan kemudian. Acara yang sangat khidmat dihadiri keluarga dan kerabat.
Pernikahan kami sangat jauh dari kesan glamor dan mewah. Kami melangsungkannya di masjid Agung Baabussalam. Kami melaluinya sangat khusyuk.
Hari demi hari kami lalui. Hingga setahun berlalu anak pertama hadir di antara kami, melengkapi kebahagiaan kami. Ucapan syukur yang tiada terkira melukis di wajah kami dan kedua orang tua kami masing-masing. Sungguh tak bisa kami lukiskan kebahagiaan ini.
Ia wanita yang taat dan baik. Aku sangat mengaguminya. Tak pernah ada masalah besar terjadi di keluarga kecilku. Jujur aku tak tahu masa lalunya seperti apa, tetapi bagiku tak penting. Bukankah semua orang punya masa lalu.
Namun, badai besar itu menghantam rumah tanggaku. Aku benar-benar kalang-kabut, tidak tahu mau berbuat apa. Pikiranku masih dipenuhi tanda tanya untuk berpikir yang agak berat. Apalagi mengingat-ngingat siapa sahabatnya.
Entah apa yang aku pikirkan. Sejak kematian istriku, aku lebih banyak menutup diri dari lingkungan sekitar dan kantor - sudah jarang ikut mengobrol dengan teman-teman kantor. Apalagi anakku yang kedua, Riski selalu menanyakan ke mana Umi-nya.
"Yah, Umi gak pulang-pulang lagi, ya?" Seketika tenggorokanku tersekat serasa ada sesuatu. Pertanyaan tersebut sangat menyakitkan bagiku.
"Doakan Umi, ya! Semoga bahagia di surga-Nya Allah." Berat sekali ucapan ini keluar dari mulutku.
"Umi gak balik lagi?"
"Iya, jadi anak yang baik dan soleh, ya, agar bisa mendoakan Umi." Segera aku memeluknya.
Segera, aku menuntunnya ke kamar untuk tidur. Reza sudah tidur lebih dulu karena waktu sudah larut malam. Setelah menidurkan mereka, aku beranjak dari kamar dan menutup pintu.
***
Aku menghampiri pintu rumah hendak membukanya. Seseorang mengetuk pintu dan suaranya terdengar kurang jelas dari kamar. Entah, siapa yang mengetuk pintu di pagi ini.
"Wa'alaikumsalam. Silakan masuk, Yai! Datang sendiri?" Ust. Hisyam, mertuaku menyambangi kami ke rumah.
"Iya, sendiri, Nak Ayes. Mbah Nyai gak ikut, soalnya gak sempat bilang tadi mau ke sini."
"Monggo, Yai. Silakan duduk dulu!"
"Terima kasih, Nak," ucapnya sembari duduk.
"Sebentar Yai ...." Aku hendak mengambilkan minuman untuknya, tapi langkahku terhenti.
"Tak usah repot-repot! Mbah mau lihat cucu Mbah." Ia mencegat tanganku untuk duduk kembali dengan memberikan isyarat matanya. Aku pun menuruti titahnya.
"Mereka di mana?"