31 Desember.
Jam setengah dua belas malam.
Kembang api adalah salah satu hal yang paling kusuka. Mungkin semua orang juga suka dengan percikan warna-warni di udara dengan dentum suaranya yang menggelegar itu.
Hal yang pasti, kembang api itu indah. Cantik. Itu alasan paling sederhana mengapa seseorang bisa menyukai atau bahkan jatuh cinta dengan yang namanya kembang api. Namun bagiku, ada hal lebih besar daripada sekadar alasan itu.
Aku merapatkan kedua tangan──memeluk diriku sendiri yang sesungguhnya sudah bermantelkan long coat supertebal dengan tiga lapis baju di dalamnya. Suhu di bawah nol derajat celcius ini bisa dengan mudahnya merontokkan gigiku.
“Jadi, kenapa kamu suka kembang api?” sebuah suara bas terdengar.
Aku langsung menoleh ke sebelah kanan tubuhku. Sepasang mata berwarna cokelat yang berbingkai alis tebal dan tulang hidung tinggi, tengah melukiskan sebuah senyum di bibirnya yang tipis.
“Jangan bilang cuma gara-gara kamu suka,” lelaki itu memprotes bahkan sebelum aku memberikan jawaban.
Kami berjalan bersampingan di trotoar area Schiekade, hendak menuju zebra cross yang ada lima meter di depan kami. Dan sepanjang perjalanan sejauh lima meter itu, aku terdiam, terkekeh sendiri melihat Nathan yang sepertinyamulai gemas karena aku tidak merespons ucapannya barusan.
“Tell me,” pintanya saat kami menunggu lampu tanda menyeberang jalan berganti menjadi hijau.
Lampunya masih merah──tandanya aku masih bisa berlama-lama menutup mulut untuk menggoda Nathan. Kupandangi dirinya yang berdiri tepat di bawah lampu jalanan yang berwarna kuning. Dia balas memandangiku, menaikkan sebelah alisnya ──masih menunggu jawabanku.
“Karena aku suka.”
Lelaki di sampingku itu lantas mengernyitkan kening, pura-pura memasang tampang sebal. “Jawaban yang sama untuk keseribu kalinya,” dia menggerak-gerakkan jari tangannya di depan wajah, seakan tengah menghitung dengan jari-jarinya itu.
“Berlebihan, deh!” aku tertawa keras sampai perutku sakit, yang kemudian justru dihadiahi dengan lengan kokoh lelaki itu yang terkalung di bahuku──hal yang otomatis membuat tawaku terhenti dan menyisakan semu merah di wajahku. Iya, kurasa memerah, karena pipiku sekarang terasa memanas. Padahal tadi sudah kubilang kan, kalau cuaca malam ini dingin sekali?
I wanna introduce this guy to you. Nathan, lelaki yang tengah bersamaku kini adalah orang Indonesia──sama sepertiku──yang sudah menghabiskan tiga tahun terakhir dalam hidupnya dengan menjadi seorang fotografer di majalah lokal di Rotterdam ini. Foto-foto yang diambilnya biasanya lebih banyak mengambil tema arsitektur. Menurutnya, negara-negara di Eropa Barat, termasuk Belanda, adalah tempat-tempat yang menjadi center of art untuk foto-fotonya itu.
Aku mengenal Nathaniel Atmadja pertama kali saat satu setengah tahun yang lalu aku mulai bekerja di sebuah restauranbernama La Angelique yang berada di kawasan Schiekade. Saat itu aku baru menjabat sebagai kitchen assistant yang belum memiliki hak untuk menyiapkan masakan bagi pelanggan.
Pekerjaanku dulu hanya berkisar antara membersihkan sayuran dan bahan masakan lainnya, mengambil daging di freezer, memastikan kaldu yang akan digunakan oleh para koki sudah siap tersedia, dan banyak hal lainnya yang tidak berhubungan sama sekali dengan kegiatan memegang pan[1]. Aku sempat mengeluh karena dulu saat masih bekerja di sebuah hotel di Bandung, aku sudah bisa diandalkan dalam membuat makanan enak. Tapi nyatanya di negeri ini, aku harus memulai semuanya dari awal. Dari nol. Hingga enam bulan kemudian aku baru ‘naik pangkat’ menjadi koki.
Syukurlah, walaupun impianku untuk menjadi seorang headchef[2]masih jauh di depan mata. Setidaknya ada kemajuan lah.
Lalu, aku mendapati bahwa Nathan adalah seorang pelanggan yang dalam seminggu bisa datang sebanyak tiga kali ke restauran tempatku bekerja, sebuah Italian restaurant yang cukup terkenal dengan ice cream parlour-nya.Saat itu, Irina dan Dennise,partner kerjaku di bagian kitchen, sudah berulang kali mengatakan kepadaku bahwa ada seorang lelaki Indonesia yang sepertinya menyukaiku saking seringnya lelaki itu bolak-balik ke La Angelique. Padahal mereka tahu sendiri, aku kan bukan koki yang bisa memasak makanan untuk Nathan dan membuat lelaki itu ketagihan dengan makanan buatanku.
Sebenarnya wajar, bila teman-temanku berpikir kalau Nathan menyukaiku. Nathan memang seringdatang ke restauran menjelang restauran tutup, sehingga aku dan dia bisa pulang bersama karena gedung sharing apartment-ku bersama Irina memang ada di building yang sama dengan tempat Nathan tinggal, yang hanya berbeda tiga lantai denganku.Aku dan Nathan sering pulang berdua──iya, itu karena Irina dan Dennise sibuk dengan pacar mereka masing-masing yang rajin menjemput mereka berdua sepulang kerja.
Perkenalanku dan Nathan memang bukan satu kebetulan. Matthew, seorang koki di La Angelique adalah teman lama Nathan yang tinggal di building apartemen tempatku tinggal saat. Matthew stay di sana lebih dulu dibandingkan aku dan Irina.Kemudian, satu bulan setelah aku stay di sana, ternyata Nathan mendapat project dari majalahnya, yang menuntut dirinya untuk tinggal di sekitar Schiekade selama tiga minggu. Dia pun akhirnya tinggal bersama Matthew, dan akhirnya malah merasa comfort dengan apartemennya itu, hingga memutuskan untuk menetap di sana bersama Matthew.
Nathan lalu sering datang ke La Angelique untuk memesan tuna carpaccio dan tomato crisp salad buatanku──ini setelah aku menjadi koki──akhirnya menjadi teman baikku. Ditambah dengan tempat tinggal kami yang berdekatan, juga kenyataan bahwa kami sama-sama berasal dari negara yang sama, membuat kami kian hari semakin akrab.
Di Rotterdam ini, aku memang hanya memiliki beberapa teman dari Indonesia. Termasuk Nathan──bila aku masih bisa menjadikan dia berada di daftar teman yang kumiliki. Dan, ada seorang pria yang menjadi daddy long legs[3]-ku selama beberapa tahun terakhir. Namanya Om Iwan, yang terakhir kali bertemu denganku sekitar tujuh bulan yang lalu. Dia adalah teman baik ayahku, yang juga berhasil meyakinkanku untuk datang mencari ayahku ke Rotterdam ini beberapa tahun yang lalu.
Sudahlah, untuk saat ini, aku sedang tidak ingin membahas tentang ayahku. Karena di momen istimewa seperti momen menjelang pergantian tahun saat ini, aku lebih memilih untuk memikirkan tentang Mama.Ngomong-ngomong, apakah di surga ada kembang api juga, Ma?
“Kamu nggak jawab pertanyaan aku tentang alasan kenapa kamu suka banget sama kembang api,” Nathan membuyarkan lamunanku. Saat dia berbicara, ada uap udara yang keluar dari mulutnya.
Kami sudah sampai di seberang jalan. Untunglah Nathan berjalan di sampingku tadi, karena rupanya, aku menyeberang jalan sambil melamun. Iya, pilihan waktu yang jenius untuk melamun, bukan?
Aku menggembungkan pipi, berusaha mengulur waktu untuk menjawab. Aku suka membuat Nathan penasaran seperti itu. “Emangnya aku nggak pernah bilang sama kamu apa alesannya?”
Nathan menghentikan jejak langkahnya. “Aku udah sering nanya, terhitung dari sejak aku kenal kamu, tapi kamu nggak pernah mau jawab.”
Aku lalu otomatis melepaskan rangkulan Nathan di pundakku, kemudianmemutar tubuhku sedikit agar menghadap ke arahnya, dan bergerak semakin mendekat ke tubuh jangkung lelaki itu. “Karena kembang api itu cantik. Alasan umum,” aku tertawa.
Nathan memandangiku, lalu membetulkan posisi topi wolku yang berwarna merah dan merapikan beberapa helai rambutku yang mencuat ke pipi kananku. “Pasti ada alesan lain,”dia tidak mau kalah.
Aku memutar bola mata. “Astaga, sejak kapan kamu jadi orang yang penasaran dan cenderung nggak percayaan kayak gini?”Dengan gerakan cepat, aku membalikkan tubuh dan mulai melangkahkan kaki, bergerak dua langkah di depan Nathan.
“Oke, aku ganti pertanyaannya,”ujar Nathan kemudian──ternyata dia sudah berdiri di sebelahku lagi. Dia mengaitkan kedua tangannya yang bersarung tangan, kemudian menggosok-gosokkan kedua tangannya itu sambil memasang tampang tengah berpikir keras. “Mulai kapan kamu suka banget dengan yang namanya kembang api? Ini bentuk pertanyaan pancingan,” dia lalu menyeringai jail.
“Apa kamu nanyain hal kayak gitu ke semua orang?” aku memicingkan mata. “Semua orang bisa dengan mudahnya suka sama kembang api.”
“Tapi nggak semua orang yang bakalan diem, hening, nggak bersuara, lalu nutup mata kalau lagi liatin kembang api.”