Bandung.
Mei, lima tahun sebelumnya.
Rotterdam.
Aku mengetik nama itu di mesin pencarian google. Yang muncul paling atas di mesin pencarian adalah… apalagi sih kalau bukan info dari Wikipedia?──terima kasih tiada terkira untuk manusia yang pertama kali menemukan makhluk bernama internet, termasuk penemu si Wikipedia ini.
Jadi, info yang kudapat kurang lebih seperti ini:
1. Ada gambar jembatan di atas perairan, dengan background bangunan-bangunan tinggi di sudut kanan page Wikipedia itu. Lalu…
2. Ya tentu saja di bawah gambar tadi ada tabel yang memberi info kalau Rotterdam itu ada di negara mana, provinsi apa, kode area apa, sampai web resminya apa. Terus, apalagi?
3. Sejarah kota itu, kondisi geografisnya, dan bla-bla-bla lainnya yang menghabiskan waktu berpuluh-puluh menit untuk membaca semua tulisan yang ada di page itu.
Kecuali…
Informasi tentang keberadaan ayahku.
Am I stupid or… what?Aku pun tidak tahu. Yang aku tahu… setelah itu, aku mengetik nama Priyadi Adidarna di new tab Google Chrome-ku. Tapi berikutnya, setelah semua huruf yang menuliskan nama ayahku kuketik, aku malah tidak menekan tombol enter di keyboard laptopku. Kurasa aku tidak perlu memberitahu alasannya kenapa.
Aku mengembuskan napas kasar. Kurebahkan kepala di atas meja belajar yang letaknya berimpitan dengan jendela kamar. Sudah jam setengah sebelas malam──aku melirik jam analog yang ada di sudut kanan bawahmonitor laptopku.
Mengapa e-mailnya belum datang juga?
Aku kembali menegakkan punggung, lalu bolak-balik me-refresh inbox yahoomail-ku.
Seharusnya Om Iwan sudah menghubungiku. Membalas e-mailku, maksudku. Tapi sampai jam segini, dia belum muncul juga. Ah, mungkin dia sibuk malam ini, hingga dia tidak sempat membalas e-mailku yang kukirim dua hari yang lalu.
Aku lalu bergerak menjauhi meja belajarku yang didominasi warnaungu muda, beranjak menuju tempat tidurku yang setengah bagiannya dipenuhi oleh dua boneka beruang berukuran besar. Yang satu berwarna cokelat, dan yang satunya berwarna pink. Keduanya adalah pemberian Rendi, lelaki yang menjabat sebagai pacarku semenjak kami duduk di bangku SMA kelas satu.
People said that there’s nobody in this world who's having a perfect life. Setidaknya, mungkin ada satu hal atau masalah yang membuat hidup mereka tidak sempurna. Itupun kalau beruntung bila ternyata tidak ada masalah-masalah lain yang sedang mengantri untuk menghampiri.
Well, bila membahas tentang ceritaku, dulu hidupku mayoritas berisi tentang kesepian dankekosongan. Jangan sebut aku hiperbolis, karena nyatanya, memang begitu adanya. Case closed.
Hingga akhirnya aku bertemu dengan Rendi, seorang lelaki yang pertama kali kukenal saat dia tidak sengaja melemparkan bola basket yang sedang dimainkannya bersama teman-temannya di lapangan sekolah ke arahku. Tepat menghantam wajahku──aku sampai pingsan selama hampir satu jam gara-gara kejadian itu.
Sejak itu, Rendi yang awalnya berteman denganku karena merasa bersalah telah membuatku pingsan, lama-lama semakin akrab dekatku. Iya, kami berteman. Hingga akhirnya kami berpacaran. As simple as that. Tapi sesungguhnya hubungan kami tidak se-simple itu.
There's a deep connection──very deep connection──between us, kalau aku harus menerjemahkannya.
TOK, TOK.
“Neng, itu makanannya masih di meja makan. Mau Bibi angetin lagi makanannya? Neng Kira belum makan dari siang,” suara Bi Diah terdengar dari balik pintu──suara khasnya yang seperti orang ngantuk, walaupun dia sedang tidak mengantuk.
“Nanti aja, Bi,” aku menyahut.
Sebenarnya, sembilan puluh persen aku yakin kalau aku sedang malas makan. Tapi sekarang sudah jam segini, daripada Bi Diah terus-terusan menyuruhku untuk makan dan alhasil dia mengulur jam tidurnya, lebih baik aku memberikan jawaban lebih netral: nanti aja.
Tapi──lagi──sebenarnya sekarang perutku terasa agak perih. Aku memang belum makan dari siang. Bukan karena aku sedang diet──berat tubuhku mentok di 48 kg dengan tinggi 160 cm──tapi aku memang sedang malas untuk berinteraksi dengan seseorang di rumah ini.
Seseorang yang kumaksud itu adalah nenekku. Ibu dari mamaku. She hates me sampai mungkin sebenarnya dia ingin menendangku ke jalanan dari awal aku menginjakkan kakiku di rumah ini semenjak mamaku tiada. But well, rupanya dia masih menahan diri untuk tidak melakukan hal itu kepadaku.
***
Bandung.
Juli, lima tahun sebelumnya.
Apakah kamu sudah membuat keputusan, Kira? Saya akan membantu proses kedatangan kamu ke sini. Dan saya akan membantu kamu untuk bertemu ayah kamu.I owe you that promise.