4 Januari.
Jam sebelas siang.
Untungnya, hari ini adalah hari libur. Persediaan pasta gigi dan sabun di apartemen sudah mulai habis, jadi barusan aku menyempatkan diri untuk mengunjungi Albert Heijn[1] yang terdekat.
Sambil melangkahkan kaki di atas trotoar menuju apartemen, berulang kali aku memandangi bungadaffodils berwarna kuning di sepanjang jalan, yang mengingatkanku pada motif bungkus kado pemberian Nathan beberapa bulan yang lalu. Iya, dia memberiku novel Flowers for Algernon-nya Daniel Keyes, Attachments-nya Rainbow Rowell, dan Mr. Maybe-nya Jane Green──tiga buah novel yang saat itu memang sedang ingin aku baca.
Lalu… tring! Nathan datang ke restauran dengan membawakan novel-novel yang dibungkus oleh kertas kado bermotif daffodils itu. Katanya, kado itu adalah ucapan selamat karena aku telah berhasil menjadi seorang koki di La Angelique. Dia… teman yang baik, bukan?
Namun sebenarnya, kalau ada yang bertanya bagaimana sesungguhnya hubunganku dengan Nathan, aku bingung harus menjawab apa. Selama mengenal lelaki itu, aku merasa nyaman dengan keberadaannya.
Nathan yang selalu siap bila kuminta tolong untuk sekadar memperbaiki TV-ku yang channel-nya tengah kacau, Nathan yang selalu siap menemaniku di tengah kebosananku bila sedang free dari pekerjaanku di restauran, juga Nathan yang selalu mendengar keluh kesahku akan rinduku pada kota kelahiranku, Bandung. Termasuk, Nathan yang mengecup keningku di perayaan tahun baru empat hari yang lalu, walaupun tidak lama setelah momen itu terjadi, tercipta kegundahan di hatiku──mungkin lebih tepatnya, kegundahan di antara kami berdua.
Ada hal yang sesungguhnya aku takutkan. Apakah aku masih bertahan di Rotterdam karena aku masih menyimpan harap untuk berdamai dengan ayahku… setelah apa yang terjadi di pertemuan kami sepuluh bulan yang lalu?
Atau… aku bertahan di sini karena… Nathan?
Ah! Mana boleh aku berpikir seperti itu! Ini bukan hanya tentang Nathan, kan?
***
Jam tiga sore.
Nathaniel Atmadja.
Mungkin bila hanya ada satu nama itu di dalam kepalaku, aku tidak akan merasa gelisah seperti saat ini. Karena pada kenyataannya, ada nama lain yang telah terpahat di dalam cerita hidupku. Namanya Rendi Wiryawan.
Rendi, seorang lelaki yang telah menjadi pacarku semenjak sepuluh tahun yang lalu.Rendi adalah satu-satunya orang yang bisa kuandalkan. Maksudku, siapa lagi yang bisa kuandalkan bila nyatanya aku tidak memiliki hubungan baik dengan keluargaku sendiri? Oh, I mean, I don’t really have people in my life that could be called as a family of mine.
Bisa dibilang, aku ini makhluk soliter. Iya, semenjak Mama meninggal ketika aku masih duduk di kelas satu SMA, aku hanya mengenal Nenek yang menjadi waliku hingga aku lulus kuliah S1 di jurusan pariwisata. Nenek adalah satu-satunya orang yang bersedia menyekolahkanku, tapi tidak pernah berniat untuk memberiku kasih sayang. Karena aku anak haram──itu yang selalu dia tekankan padaku.
Jadi, di dalam hari-hariku, hanya Rendi yang bisa kujadikan tempat berbagi. Termasuk cerita tentang kedua orang tuaku. Mama… dan Papa yang tidak pernah kukenal.
“Sebentar lagi aku bakal ngewujudin janji aku.”
Kalimat itu Rendi ucapkan beberapa bulan yang lalu, ketika dia memberitahuku bahwa tidak lama lagi dia akan pergi ke Rotterdam. Untuk menemaniku. Dan untuk mencari papaku──sebuah janji yang pernah dia ucapkan kepadaku.
Rendi yang adalah seorang lulusan teknik sipil dan tengah bekerja di salah satu badanperencanaan pembangunanmilik pemerintah di Jakarta, memberitahuku bahwa dia lulus seleksi beasiswa untuk melanjutkan sekolah S2-nya dari Erasmus Mundus[2] bulan Oktober mendatang. Sebelum itu, selama beberapa bulan dia akan mengikuti kelas persiapan bahasa.
Rendiakan menghabiskan beberapa tahun ke depan dengan menjadi foreigner di Rotterdam. Bersamaku.
Aku rasa hal itu akan menjadi hal yang sempurna. Ini adalah mimpiku. Mimpiku dan Rendi. Mimpi kami. Tapi... kenapa kini aku malah ragu?
“Kamu mau menonton film apa?”
Aku terlonjak di atas sepedaku saat Irina berbicara kepadaku dengan bahasa Inggris──bahasa dari negara dia berasal. Dia kemudian menurunkan laju sepedanya, sehingga kami bersepeda beriringan keluar dari jalanan Schiekade.
Inilah atmosfer di kota ini. Selain alat transportasi umum seperti tram, bis, dan sebagainya, sepeda adalah alat transportasi yang banyak digunakan oleh masyarakat Rotterdam. Salah satu hal yang kusukai dari jalanan di kota ini adalah ketidakpadatan jalanan, juga keamanan bila sedang berkendara.
Mulai dari anak-anak hingga lanjut usia, banyak yang memilih sepeda sebagai alat berkendaraan. Di sini, bila diibaratkan, menyebrang jalan tidak perlu melihat ke kiri dan kanan, bisa dibilang aman-aman saja──hal yang tidak bisa kubandingkan dengan kota tempatku berasal. Bahkan, di sini, jalur tram tidak menggunakan palang pintu, cukup dengan lonceng dan lampu tanda tram yang akan lewat.
“Terserah, aku ikut saja,” jawabku dalam bahasa Inggris, sambil berusaha menyingkirkan apa yang tersisa dari kegelisahan dalam lamunanku tadi. “Kamu mau nonton apa?”
Aku dan Irina memang lebih banyak berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, sama halnya dengan para pendatang dari luar Belanda yang lebih sering berbicara dengan bahasa Inggris dibandingkan bahasa Belanda atau Perancis seperti yang umumnya dilakukan oleh masyarakat di sini.
“Baiklah, akan kupilihkan nanti setelah kita sampai di Pathe[3]. Ya?”
Aku hanya mengangguk perlahan, kemudian menurunkan lagi laju kayuhan sepedaku, membiarkan Irina berlalu lebih dahulu sementara aku mengikutinya dari belakang.
Aku hanya berharap acara refreshing siang ini bisa sedikit mendistraksi isi kepalaku yang penuh dengan ragu yang menyergapku.
***
Jam setengah enam sore.
Kalau boleh membandingkan apa yang tengah terjadi di luar sana dengan apa yang tengah terjadi di hatiku sekarang, aku rasa aku bisa menggambarkannya dalam satu kata: mendung.
Perbedaannya, Rotterdam adalah sebuah tempat yang cuacanya tergolong moody──hujan suka-suka, kapan pun dia mau. Sedangkan aku, aku tidak bisa menunjukkan suasana hatiku kapan pun aku mau dengan alasan yang tertulis jelas di dalam kepalaku: aku tidak ingin menyakiti Rendi. Juga Nathan.
Ada dua hati dan dua rasa yang perlu kujaga. Celakanya, aku tidak tahu bagaimana caranya menjaga kedua hal tersebut dengan benar.
“There's something wrong with you,” Irina akhirnya berkata. Dia menyesap cokelat panasnya sambil lekat memandangiku.
“I'm okay,” balasku sekenanya──berusaha untuk menunjukkan senyumku.
Irina menggelengkan kepala, lalu mengambil roti dengan hagelslag[4]yang ada di atas meja dengan menggunakan garpu kecil.
Aku dan Irina tengah berada di salah satu sudut kafe yang ada di Delfshaven, sebuah kawasan yang berjarak hampir setengah mil dari Schiekade──tempat kami tinggal. Delfshaven merupakan salah satu spot historis di kota ini, di mana sepanjang jalan dipenuhi dengan bangunan-bangunan kuno yang tinggi dengan berbagai warna menarik. Orang-orang yang mengunjungi daerah ini biasanya menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berjalan kaki menikmati pemandangan bangunan-bangunan tua beserta kanal-kanal yang ada di sepanjang sungai.