12 Januari.
Jam empat sore.
Standing aplause untuk James, head chef di tempatku bekerja yang membatalkan izinnya agar aku bisa cuti seharian sepanjang hari ini. Tadi pagi, sebelum aku membuka mata dan masih menggulungkan tubuh di atas tempat tidur, pria berperingai galak namun sangat jago dalam mengurusi urusan kitchen itu meneleponku dan berbicara cepat dalam bahasa Belanda, yang intinya: aku harus masuk kerja hari ini, dari jam delapan pagi sampai jam dua belas siang. Titik. No excuse.
Memang tidak terlalu lama, sih, hanya empat jam. Tapi tetap saja, empat jam itu menyita waktu yang seharusnya kuhabiskan bersama Nathan.
Sebelum aku menyanggah perintahnya, James dengan suara bariton-nya sudah terlebih dahulu menghilang dari sambungan telepon──tentu saja setelah sebelumnya berteriak kepada kru di kitchen yang menurutnya bekerja sangat lambat dalam menyiapkan beef steak setengah matang yang menjadi salah satu menu andalan di La Angelique.
Jadi, James menutup teleponnya begitu saja. Rasanya aku ingin mencakar wajah James──tapi pastinya tidak akan pernah bisa kulakukan, bahkan seandainya aku menjadi pemilik restauran. Intinya, mustahil bila aku bertindak anarkis pada James. Aku hanya bisa berkeluh kesah seorang diri sebelum akhirnya menelepon Nathan dan me-reschedule rencana keberangkatan kami ke Brussel menjadi sore ini, bukan pagi tadi.
Nathan berjalan di sampingku saat kami keluar dari Brussel Midi, salah satu railway station yang ada di Belgia. “Nanti kita cari tempat menginap di deket Grand Place aja, baru besok pagi kita ke Ghent.”
“Emangnya hari ini acara yang kamu bilang mau kita datengin, batal?”
Nathan menggeleng. “Nggak. Acaranya tetep berlangsung. Tapi kalaupun maksain ke sana sekarang, percuma. Acaranya udah selesai sekitar sejam yang lalu.”
Alisku bertaut. “Ah, kamu bikin aku ngerasa bersalah.”
Nathan tersenyum menanggapi ucapanku. “You don’t have to.”
“Kenapa kamu nggak bilang kalau acaranya udah selesai, dan kita telat dateng gara-gara aku mesti ke restauran dulu?”
“Nggak apa-apa, Kira.”
Bisa-bisanya dia tetap tersenyum sementara aku dihantui perasaan bersalah begini. “Tapi──”
“Kita bakal tetep ke Ghent, kok. Ketemu sama orang yang seharusnya aku──maksudku, kita──temuin hari ini. Jadi, kita jadwalin hari untuk jalan-jalan aja. The Grand Place is around here. Kamu pengin ke sana, kan? Kita jalan-jalan dulu aja. Oke?”
“Oke,” sahutku sambil membenarkan posisi tas punggungku yang berukuran tidak terlalu besar. “Terus, sebenernya kamu ke Ghent mau ketemu siapa?” tanyaku lagi kepada Nathan. Kami berdua berjalan beriringan di salah satu jalan trotoar di Brussel.
“Famili,” jawab Nathan dengan singkat.
“Terus, kenapa aku diajak ke Ghent juga kalau kamu mau ketemu famili kamu?”
Nathan menoleh, memandangiku selama beberapa detik, lalu tertawa, “Aku akan ngenalin kamu sebagai putri pujaan hati aku.”
Kontan saja wajahku memerah dengan candaan yang dilontarkan Nathan, sementara lelaki itu masih tergelak. “Yang ada mereka kasian sama aku gara-gara pacaran sama orang genit kayak kamu,” jawabku asal, berusaha mengatur degup jantungku yang sejujurnya tengah melompat-lompat tidak keruan.
“Muka kamu sekarang kayak gitu tuh,” oceh Nathan kemudian.
Aku refleks memutar kepalaku searah jam dua, mengikuti arah pandang Nathan.
Mataku membeliak saat melihat kios buah-buahan yang banyak berjejer di antara gedung-gedung yang ada menuju Grand Place──tempat tujuan kami hari ini. “Masa aku dibilang kayak semangka,” ujarku pura-pura ngambek dengan ejekan Nathan yang ternyata menbandingkan aku dengan sebuah semangka berukuran besar di ujung kios sana.
Nathan kemudian melakukan satu tindakan yang semakin membuat wajahku memerah. Dia mengalungkan lengan kanannya di pundakku──hal yang berhasil membuatku menenggelamkan setengah bagian wajahku pada syal tebal berwarna kuning pucat yang melingkari leherku.
“Sambil nunggu ke Ghent besok pagi, nggak ada salahnya kan kalau kita muter-muter di sini dulu,” Nathan berkata tepat di samping telinga kiriku. Aku merasakan napas lembutnya di kulitku saat dia berbicara.”It seems like we’re in a real ‘dating time’ now,” Nathan terkekeh, sementara aku tengah bersusah payah untuk memastikan bahwa jantungku masih utuh berada di dalam rongga dadaku.
Seharusnya, bila aku ingat tentang Rendi, hal yang perlu aku lakukan saat ini adalah melepaskan rangkulan Nathan dan menggeser sedikit posisi tubuhku agar agak menjauh dari Nathan. Tapi, yang kulakukan malah terdiam, menyesapi momen kebersamaanku dan Nathan. Hanya kami berdua.
Detik berikutnya, ada sedikit kecewa yang mendesir di hatiku. Setelah hampir dua menit Nathan merangkulku, dia melepaskan lengannya dari pundakku.
Aku menoleh kepadanya. Ternyata dia tengah memegangi kamera SLR-nya yang semenjak tadi tergantung di lehernya. Dia kemudian mengarahkan kameranya ke beberapa spot di jalan serupa gang yang di kanan-kirinya dipenuhi dengan bangunan-bangunan tinggi ini.
Kalau kuperhatikan, bangunan-bangunan di sini tampak mirip satu sama lain. Bangunan historis yang atapnya meruncing, serupa dengan kastil yang ada di film-film. Namun, di sini, dipenuhi dengan restauran yang kursi pengunjungnya memang banyak diletakkan di luar restauran. Jadi, selama menyusuri jalanan ini, mataku disuguhkan dengan pemandangan para waiter dan waitress yang berlalu lalang membawa sepiring besar kepiting, atau semangkuk kerang bumbu, hingga sandwich tuna.
Melihat pemandangan kuliner seperti ini, rasanya air liurku ingin menetes dari dalam mulutku. Oukh, jangan sampai Nathan mendengar isi kepalaku saat ini.
“Apa yang lagi kamu pengin, Ra?”