12 Januari.
Jam tujuh malam.
Sekarang, bukan hanya Rendi yang tahu akan alasan sesungguhnya mengapa aku menginjakkan kaki di Rotterdam sekitar satu setengah tahun yang lalu.
“Aku... mau nyari Papa. Aku nggak pernah ketemu dia, sampai akhirnya suatu hari ada seorang temennya Papa yang ngehubungin aku dan bersedia ngebantu aku untuk mempertemukan aku dengan papaku itu.”
“Teman?” Nathan memiringkan kepala sedikit, memusatkan perhatiannya kepadaku yang masih berdiri di sampingnya.
Aku mengangguk. “Namanya Om Iwan. Dia salah satu orang yang meyakinkan aku untuk pergi ke sini. Juga Rendi. Juga nenekku yang secara nggak langsung bikin aku pengin pergi dari rumahnya dia dan nyoba untuk nyari Papa.”
Nathan bergeming. Kedua tangannya kini erat memegang kameranya, tidak mencoba memelukku atau mencoba menenangkanku. Mungkin dia hanya ingin membiarkanku menumpahkan semua cerita yang ingin kukisahkan kepadanya. Lagipula, seandainya dia memelukku, yang terjadi berikutnya akan menjadi tontonan orang-orang di sekitar sini, mungkin. Karena aku mungkin akan menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan lelaki itu.
“Setiap hari, Nenek manggil aku anak haram. Itu sebabnya dia benci banget sama aku. Karena kata Nenek, dulu Papa dan Mama memang mengagung-agungkan cinta mereka, sampai akhirnya Mama mengandung aku, lalu Papa pergi begitu saja ke Belanda. Nenek benci Papa. Dia juga benci Mama. Dan... dia benci aku.”
Kalimat itu akhirnya meluncur, hal yang akhirnya memaksa mataku untuk memecahkan tangis yang akan melesak keluar. Aku menggigit bibir, menahan emosi yang mungkin akan membludak dengan mudahnya kapan saja. Sekuat tenaga, aku berusaha untuk berbicara dengan nada sebiasa mungkin.
“Papa pergi waktu Mama masih mengandung aku dua bulan. Aku hidup berdua sama Mama, tanpa pernah mengenal papaku. But I was happy back then. Dengan Mama, walaupun hidup kami sulit, tapi aku merasa cukup dengan apa yang kami punya. Sampai akhirnya, Mama pergi untuk selamanya pas aku masih kelas satu SMA.”
Ada linu yang menjalar ke seluruh saraf tubuhku, saat mengingat bagaimana dulu Mama pergi karena penyakit komplikasi yang dideritanya. Diabetes sialan. Hipertensi sialan. Penyakit jantung sialan. Mereka yang membuat Mama pergi...
“Sejak itu, aku tinggal di rumah Nenek.Suatu hari, aku nggak sengaja ngeliat sebuah tulisan nama seseorang. Priyadi Adidarna... dengan sebuah alamat yang tertulis di bawahnya. Tulisan itu ada di sebuah buku lama punya mamaku. Aku masih inget gimana tulisan Mama... tapi aku nggak pernah liat buku itu, sebelum akhirnya aku nemuin buku itu di kamar Nenek.”
“Kok bisa ada di kamar Nenek kamu?”
Aku mengangkat bahu sambil tersenyum miris. “Mungkin Nenek nemu buku itu setelah Mama nggak ada. Aku nggak tau.”
“Terus?”
Detik berikutnya, sebuah kisah lama terurai dari bibirku.
Masih terasa segar di dalam ingatanku, bagaimana saat itu nenekku──ibu dari mamaku──marah besar saat aku menemukan buku itu. Pada dasarnya, nenekku memang tidak menyukaiku karena aku adalah seorang anak dari putrinya yang telah lari dari rumah belasan tahun lalu bersama seorang pria yang dicintai oleh mamaku.
Pria itu... papaku. Seorang pria yang akhirnya malah mengikuti keinginan orangtuanya untuk pergi ke Belanda untuk melanjutkan studinya... dan meninggalkan mamaku yang ternyata sedang mengandungku selama tujuh minggu.
Dari titik itu, Mama hidup sendiri. Orangtuanya yang hanya tinggal nenekku──kakekku sudah tiada semenjak Mama masih berusia tujuh belas tahun──sangat marah pada mamaku, dan membiarkan Mama dan aku hidup seadanya. Tidak ada dukungan moril, juga tidak pernah ada dukungan finansial.
Bisa dibilang, kami berdua hidup dengan keadaan ekonomi yang sangat buruk. Mama mengandalkan pendapatannya sebagai seorang penjahit untuk mempertahankan hidup kami.
Mama tidak mengeluh akan apa yang terjadi di dalam hidupnya. Karena baginya, dia yang telah memilih untuk mencintai Papa, walaupun akhirnya Papa pergi. Aku bisa membayangkan bagaimana rasa kecewa yang Mama rasakan. Tapi Mama tidak pernah menunjukkan hal itu di hadapanku.
Mama memang tidak pernah menunjukkan bagaimana rupa Papa. Tapi, Mama pernah menyebutkan namanya.Priyadi Adidarna. Dan saat itu, Mama bilang kalau pria itu ada di Rotterdam.
Setelah kepergian Mama, nenekku yang adalah satu-satunya keluarga yang kukenal, menyuruhku untuk tinggal bersamanya. Aku kesulitan untuk menjalin komunikasi yang baik dengannya. Hingga akhirnya, aku menemukan sebuah buku catatan yang ada di laci meja yang ada di sebelah tempat tidur Nenek.
Waktu itu aku berniat untuk mengambilkan obat penurun darah tinggi yang rutin diminum Nenek. Saat itu, Nenek memang menyuruhku untuk mengambilkannya karena dia tidak sengaja meninggalkan obatnya di rumah, sementara dia tengah berkunjung ke rumah salah satu anaknya──tanteku yang juga tidak pernah dekat denganku.
Saat itulah aku menemukan sebuah buku catatan yang tampak sudah termakan waktu. Intuisiku menyuruhku untuk membuka buku itu. Dan yang terjadi berikutnya, aku menemukan nama Papa di salah satu halamannya, dengan sebuah alamat yang juga tertera di sana.
Sebuah alamat yang baru kutahu berikutnya, bukanlah alamat Papa yang sekarang.
Nathan melambatkan langkahnya, membiarkanku untuk bercerita dengan leluasa. Kini, cerita yang sebelumnya hanya kubagi dengan Rendi, telah kuceritakan ulang kepada Nathan.