Maybe, Probably

Pia Devina
Chapter #7

Bab 6 - Dia Datang

Amsterdam.

9 Februari.

Kupandangi sebuah jam raksasa yang menggantung di atas langit-langit salah satu sudut Amsterdam Schiphol Airport. Jam berwarna putih dengan tepiannya yang berwarna hitam itu, jarum jam panjangnya menunjuk ke angka sepuluh, sedangkan jarum pendeknya mengarah ke angka satu.

Seharusnya… seharusnya dia sudah sampai sepuluh menit yang lalu. Sepuluh menit yang tadi juga kuhabiskan untuk berjalan menyusuri arrivals hall ini──dengan melewati toko cokelat bernama Leonidas dan memandangi tumpukan-tumpukan cokelat yang menggiurkan, fashion shop bernama Wonder Woman yang di etalasenya dipenuhi beberapa manequine yang mengenakan berbagai dress cantik, hingga melewati Jungle Juice Bar yang membuat perutku terasa perih karena berhasil menginduksi rasa laparku.

Tapi semuanya itu tetap saja tidak bisa menghapus gugup yang kurasa. Gugup karena sebentar lagi aku akan bertemu dengan seorang lelaki yang sudah selama satu setengah tahun lebih tidak kutemui secara langsung.

Hingga akhirnya…

Aku melihatnya.

Pagi ini, aku melihatnya kembali. Aku memandangi lelaki itu dari kejauhan. Seorang lelaki yang mengenakan coat tebal berwarna cokelat muda dengan sebuah backpack hitam yang sangat kukenal, yang tersampir di pundaknya.

Aku membeku di tempatku berdiri, di salah satu titik di antara keramaian yang ada di tempat ini.

Di sana, di antara hilir mudik ratusan orang yang ada di dekat pintu kedatangan, aku melihat lelaki itu lekat menatapku. Tangan kirinya tengah memegang pegangan koper hitamnya yang berukuran besar, sementara tangan kanannya tengah melambai ke udara──ke arahku.

Seiring langkah kaki lelaki itu yang bergerak, aku merasa ada sebuah big screen di belakang tubuh lelaki itu yang menampilkan sebuah film tentang kehidupanku bersama lelaki itu dulu.

Tertawa bersama. Menangis bersama. Tahun-tahun kebersamaan kami diputar cepat di sana. Ah, ada rindu yang menggelayuti hatiku.

Namun berikutnya, adegan di screen itu berganti. Lelaki yang ada di sana telah berganti. Iya, tergantikan oleh seorang lelaki yang sibuk memegang kameranya sambil tersenyum lebar.

Sosok Rendi… tergantikan dengan sosok Nathan.

Lalu, big screen hasil imajinasiku itu pun lantas menghilang.


Mataku panas. Sebentar lagi aku akan menangis. Tapi menangis untuk alasan yang mana... aku tidak tahu pasti.

Hingga beberapa detik kemudian, langkah kaki lelaki ber-coat cokelat itu mulai mendekat ke arahku. Dan yang baru kusadari, ternyata selama detik-detik itu berlangsung, aku menahan napasku sendiri.

Hallo,Kira...” lelaki itu melukiskan seutas senyum hangat di wajahnya saat menyapaku dengan suaranya yang sudah sangat familiar──salah satu suara yang paling kukenal dalam hidupku.

Aku terdiam──terlalu bingung untuk berkata apa. Namun yang jelas kurasa, mataku memanas. Ada genangan air di permukaannya.

Momen ini, saat lelaki di hadapanku kemudian memelukku sedetik berikutnya, aku menyadari... inilah rumahku yang kupunya selama ini. Selama ini, Rendilah yang menjadi rumahku. Bukan Nathan.


***

Rotterdam.

9 Februari, jam empat sore.

Ada hal yang ternyata memang kurindukan dari seorang Rendi. Aku rindu bagaimana lenganku melingkar di lengan Rendi, lalu kami jalan berdua sambil membicarakan banyak hal. Satu rutinitas sederhana yang tidak lagi kurasakan selama aku berpisah dengannya selama satu setengah tahun ke belakang.

Selama aku di Rotterdam, kami hanya berkomunikasi melalui WA, telepon, SMS, e-mail, dan yang paling sering adalah dengan melakukan video call. Kami harus bertahan dengan jarak entah berapa ribu kilometer yang terbentang di antara kami berdua. Kami berbagi cerita.

Iya, hampir semua cerita. Hampir.

Lihat selengkapnya