Maybe, Probably

Pia Devina
Chapter #8

Bab 7 - Tiga Luka

9 Februari.

Jam enam sore.

Beberapa bulan yang lalu, ketika musim panas baru saja mulai, aku dan Nathan pergi mengunjungi sebuah danau yang terletak di distrik Kralingen di timur laut Rotterdam. Saat itu, kami menghabiskan weekend bersama, hanya sekadar berjalan-jalan di tepi danau sambil mengambil foto-foto di sekitar tempat itu.

Kala itu, Nathan memang ditugasi untuk memotret banyak objek di sana, sebagai bahan untuk penulisan salah satu artikel di majalah tempat dia bekerja. Aku yang waktu itu memang sedang free dari pekerjaanku, mengiyakan ajakan Nathan untuk pergi. Hanya berdua saja.

“Jadi, kamu sudah punya pacar?”

Aku ingat bagaimana Nathan saat itu bertanya kepadaku.

“Ya, iya, dong. Seenggaknya aku nggak jomblo... kayak kamu,” candaku waktu itu──sebelum aku tahu bulan lalu, bahwa dulu Nathan masih didera sedih berkepanjangan selepas kepergian mantan pacarnya, Tiffany.

Dulu, kupikir Nathan adalah tipe lelaki yang mudah dekat dengan seorang perempuan dan tidak terlalu pusing memikirkan masalah kehidupan percintaannya, atau kisah cintanya yang kandas di tengah jalan. Dari peringainya yang tampak santai, aku selalu men-judge bahwa Nathan adalah orang yang berprinsip life goes on.

Nathan tertawa saat itu. Aku masih ingat bagaimana dia mengacak rambutku setelah aku berkata demikian. “Sialan, aku di-skak mat,” omelnya. “Terus... kamu sendiri, dengan hubungan LDR[1] lintas benua kayak gini, apa baik-baik aja? Bukannya statusnya sama aja nggak jelas, kayak jomblo-jomblo juga? Yang satu di Indonesia, yang satu di sini.”

“Beda dong!” jawabku saat itu untuk membela diri. “Aku berkomunikasi dengan baik sama pacarku. Walaupun kami jauh-jauhan, tapi kami selalu ada untuk satu sama lain.”

Nathan tersenyum, kemudian mengarahkan kameranya ke arah sekumpulan gambut yang ada di salah satu sisi Kralingen Lake. Entah bagaimana caranya, se-simple apapun foto yang dia ambil, hasilnya akan selalu bagus. Berbeda denganku yang perlu berpikir keras bila ingin menghasilkan foto yang memukau──bagaimana background-nya, bagaimana angle pengambilan fotonya, dan hal-hal teknis lainnya yang tidak terlalu aku pahami.

“Kapan terakhir kalian ketemu?” Nathan meneruskan pertanyaannya, sementara tangannya masih sibuk membidik dua buah kincir angin yang ada di sisi timur danau. Katanya, kincir angin itu masih digunakan hingga saat ini untuk menggiling rempah-rempah dan tembakau.

Sejenak, kupandangi hamparan air di hadapanku, memperhatikan riaknya yang diapit oleh pepohonan berdaun cokelat di tepian danau. Di ujung sana, kulihat sebuah jembatan membentang di atas danau, beberapa orang berdiri di atasnya, sibuk memotret angsa-angsa yang sedang bermandikan cahaya matahari di awal musim panas.

“Sejak aku pergi ke Rotterdam, kita belum pernah ketemu lagi,” akhirnya aku bersuara kembali setelah beberapa detik tenggelam dalam lamunanku sendiri. Aku rindu pada Rendi.

“Dan kamu percaya dia nggak macem-macem di Jakarta sana?”

Aku menaikkan alis mataku. “Dasar kompor!” kataku galak.

Nathan tergelak, lalu sekali lagi meletakkan sebelah tangannya yang tidak sedang memegang kamera ke puncak kepalaku. “Kayaknya kalian benar-benar saling jatuh cinta, ya,” komentarnya. “Hmmm... then why’d I feel so jealous, huh?”

Saat Nathan berkata demikian waktu itu, tidak ada pergolakan batin yang terjadi. Aku tertawa mendengarkan gurauannya. Karena waktu itu, yang terjalin antara aku dan Nathan hanyalah sebuah hubungan pertemanan. Tidak lebih.

Walaupun Nathan sering iseng menggodaku dengan gombalan-gombalannya yang penuh canda itu, kami berdua tahu dengan jelas batas kedekatan kami ada di mana──’police line’ di antara kami sangatlah jelas. Namun ternyata, waktu yang berjalan beriringan dengan kebersamaan kami, melihat dengan jelas apa yang selanjutnya terjadi di antara kami berdua. Setidaknya, aku sadar sesadar-sadarnya kalau rasa yang kumiliki untuknya bukan berada pada garis pertemanan.

Saat itu, menjelang senja, aku dan Nathan masih berjalan bersama menyusuri tepi danau. Musim panas memang seringkali dimanfaatkan oleh pengunjung Kralingen Lake dengan bersantai atau sekadarsunbath, mengunjungi kafe-kafe yang ada di sekitar danau, ber-jogging, hingga bersepeda di track khusus yang memang sengaja disediakan di tempat itu.

Khususnya musim panas, orang-orang banyak yang berpesta barbekyu di udara terbuka. Dan, bila angin sedang baik, banyak orang yang ber-sailing di danau. Selain danau, di sekitar area Kralingen terdapat hutan Kralingen yang ada di sebelah utara danau. Selain itu, ada juga sebuah pantai kecil yang ada di salah satu sisi danau, yang seringkali dijadikan arena bermain bagi anak-anak kecil yang ingin membuat istana dari pasir pantai.

“Kapan pertama kali kamu pergi ke Rotterdam?” tanyaku pada Nathan.

Lihat selengkapnya