Maybe, Probably

Pia Devina
Chapter #9

Bab 8 - Air Mata

10 Februari.

From    : Iwan Danutirta

To        : Kirana Evalia

Subject : Re: Apa Kabar?

Hai, Kira.

Kabar baik di sini. Kamu bagaimana? Semoga sehat selalu, ya.

Saya senang sekali mendapat e-mail kamu dan ada kabar kalau Rendi sudah datang ke Rotterdam. Then, you won’t feel so lonely anymore, will you?

Tentang pertanyaan kamu di e-mail sebelumnya, saya belum bisa jawab secara pasti. Karena sekarang saya sedang ada business trip ke Jerman dari bulan lalu, jadi saya pun belum sempat ketemu papa kamu langsung untuk membicarakan hal itu──tentang kemungkinan kalian bertemu kembali dalam waktu cepat.

Sekali lagi, maafkan saya yang belum bisa membantu kali ini. I’ll call you back as soon as I arrive in Rottie next month.

Salam,

Iwan Danutirta


***


Aku masih menggelungkan tubuh di atas tempat tidur. Kepalaku penuh dengan apa yang dikatakan oleh Rendi kemarin sore di Kralingen Lake, juga apa yang tertulis di e-mail yang dikirimkan oleh Om Iwan beberapa jam yang lalu.

Jadi, apakah aku harus menunggu Om Iwan kembali ke sini untuk bertemu Papa lagi? Yang artinya… aku harus menunggu hingga bulan depan? Bagaimana kalau aku mencoba mencari alamat Papa saja dan pergi ke sana sendiri──maksudku, tidak bersama Om Iwan?

Iya, selama ini aku memang tidak pernah menanyakan alamat tempat tinggal Papa ke Om Iwan karena aku tidak ingin sekonyong-konyong mendatangi rumah papaku itu tanpa pikir panjang, lalu entah apa yang akan kukatakan atau kulakukan di sana. Setidaknya, dengan tidak mengetahui alamatnya, aku bisa menahan diri untuk tidak mencari Papa sesuka hati.

Keputusan yang cukup bijaksana, bukan? Walaupun Rendi mati-matian mengatakan kalau cara berpikirku tentang hal itu sangatlah jauh dari kata bijak.

Kuakui, memang sebuah pemikiran aneh, sih. Tapi memang itu yang kupertimbangkan. Ada rasa takut... bila aku tiba-tiba pergi ke sana seorang diri dan membuat keadaan kacau. Keadaan yang mungkin bisa menjadi satu masalah besar dalam keharmonisan keluarga papaku itu.

Tapi... apakah aku sungguh-sungguh ingin bertemu Papa dalam waktu dekat ini?

Ah, sudahlah! Cukup berpikirnya untuk malam ini. Sekarang sudah hampir jam dua pagi. Aku harus segera tidur dan bangun pagi-pagi sekali bila tidak ingin menjadi bahan makian James di restauran nanti.


***

12 Februari.

Jam sepuluh malam.

“Hai.”

Aku berusaha untuk mengulas senyumku saat aku berjalan mendekati Nathan yang sudah dua minggu ini tidak bertemu denganku. Semenjak Rendi datang, jarak di antara aku dan Nathan memang terasa semakin membesar. Sedikit lagi, kami mungkin akan menyentuh sebuah batas hubungan dengan papan nama bertuliskan: orang asing.

“Kemana aja?” kataku sambil menarik sebuah kursi di hadapan Nathan.

Kami duduk di salah satu sudut La Angelique──di kursi yang ada di dekat jendela besar yang digambari motif absrak berwarna hitam putih di bagian bawahnya. Restauranmemang sudah ditutup dari satu jam yang lalu, namun aku masih harus berkutat dengan beberapa ingredients yang tersimpan di freezer dan memastikan bahwa semua bahan-bahan untuk lunch besok itu tetap dalam kondisi baik.

“Agak sedikit sibuk dengan urusan motret,” Nathan tersenyum. “Selama dua minggu ini aku pergi ke beberapa kota. Alblasserdam, Barendrecht, dan Delft. Aku motret beberapa area di sana.”

Aku mengangguk mengerti. Dalam diam, aku berharap, setidaknya kegiatan memotret itu bisa menyingkirkan pikirannya tentang aku sedikit demi sedikit──itu pun bila dia masih mau memikirkan tentang aku.

Namun, membayangkan bagaimana seandainya dia menyingkirkan aku dari pikirannya, justru menggoreskan luka yang baru di hatiku. Kurasa aku mulai menjadi perempuan serakah yang──

Lihat selengkapnya