16 Februari.
Jam lima sore.
“Sejak itu kalian tidak bertemu? Misalnya... kebetulan bertemu di lantai dasar apartemen atau bagaimana?”
“Tidak, Irina,” jawabku agak ketus pada sahabatku yang berdiri di sampingku, menungguku untuk memarkirkan sepedaku.
“Dan dia benar-benar belum datang lagi ke restauran?” dia masih belum menyerah dengan rentetan-rentetan pertanyaannya.
Pundakku melorot. “Sudah aku bilang tidak, Irina.”
Sekilas, aku melirik ke arah Irina, namun kemudian aku kembali sibuk bergelut dengan kunci ganda sepedaku.
Aku dan Irina sedang berada di Rotterdam Centrum, distrik yang paling hip bagi warga Rotterdam untuk nongkrong. Di kota ini memang tidak ada mall, jadi pusat area pertokoan yang berbatasan dengan stasiun Rotterdam Centraal dan sungai Nieuwe Maas ini memang selalu menjadi area yang banyak dikunjungi oleh warga di sini.
Di tempat ini, orang-orang berlalu-lalang kesana kemari, dengan percakapan yang dilakukan dalam bahasa Belanda dan Perancis, juga Inggris. Di kanan-kiri kami berjajar toko-toko dengan berbagai brand, misalnya saja H & M yang ada di dekat puncak sebuah tangga besar menuju lantai bawah area ini.
Blok-blok di distrik Centrum ini memang penuh dengan tempat belanja dan kafe outdoor yang cozy. Jadi, seringkali pengunjung bukan hanya bertujuan untuk belanja. Ada kalanya mereka──termasuk aku──hanya melakukan window shopping atau sekadar mengunjungi kafe untuk nongkrong.
“Karena ucapannya beberapa hari lalu itu?” Irina kembali bertanya.
Dia lalu sibuk merapikan rambutnya yang baru saja dicat dark brown kemarin sore di salon yang ada di dekat restauran. Katanya, sedang ada diskon di salon itu.
Harga salon di kota ini memang bukan main. Beda sekali dengan saat aku bisa bebas memanjakan diri di salon-salon yang ada di Bandug walaupun keadaan dompetku sedang menipis. Kalau di sini, paling aku sanggup merawat rambutku ke salon setiap beberapa bulan sekali. Tidak usah dibahas berapa Euro yang harus dihabiskan untuk mempercantik diri di salon yang ada di sini, karena hal itu bisa membuat frustrasi bukan main setelahnya.
Aku mengangguk sekilas dan berkata, “Iya, karena ucapannya beberapa hari yang lalu,” kemudian menjajari langkah kaki Irina di pedestrian street yang merupakan zona bebas kendaraan ini.
“Mungkin dia hanya salah bicara, Kira,” Irina mencoba meyakinkanku. Matanya sibuk menyapu fashion shop di sebelah kiri kami yang di etalasenya memamerkan jump suit juga pants berwarna biru koral──mungkin minggu ini warna itu memang menjadi tema khusus di fashion shop tersebut.
“Dia keterlaluan,” aku berbicara sambil mengembuskan napas kasar. “Bisa kamu bayangkan? Dia bilang aku berusaha untuk mengusir dia. Memangnya dia pikir aku orang seperti apa?”
Irina menganggukkan kepala.” Aku bisa mengerti kenapa kamu semarah ini. Tapi──”
“Tapi?”
Saat Irina masih terdiam, aku mengedarkan pandanganku. Dan di sana, di salah satu sudut area ini, sekitar lima meter dari tempatku berdiri, aku melihat tiga orang remaja laki-laki tengah mengisap ganja──hal lumrah yang memang seringkali dijumpai di Rotterdam Centrum ini.
Apa sih enaknya menghirup ganja? Oke, mungkin aku yang naif karena belum pernah berani untuk mencobanya. Mungkin suatu saat aku akan mencobanya kalau aku sudah benar-benar merasa terlalu pusing menghadapi semua masalahku.
Astaga, apa sih yang aku bicarakan? Kuharap apa yang kupikirkan itu tidak perlu kujadikan nyata.
“Tapi apa?” ulangku pada Irina.
Irina lalu menoleh ke arahku selama beberapa saat, seakan menimbang apakah ucapannya nanti bisa diterima olehku atau tidak.
“Mungkin dia terlalu sedih... karena sekarang──diakui atau tidak──posisinya semakin menjauh dari kamu dengan datangnya Rendi. Makanya... dia malah bersikap seperti itu.”
Setelah Irina mengatakan hal itu, yang terjadi berikutnya justru aku yang merasa dirundung bersalah.
Irina mengatakan sebuah statement yang masuk akal. Statement logis yang bahkan tidak terpikirkan olehku.
“Hei, bagaimana kalau kita bersenang-senang saja?” Irina menyikutku pelan saat melihat raut wajahku yang berubah masam. “Kita berburu sepatu di Van Haren. Oke?”
Irina sedang mencoba untuk menghiburku. Jadi, aku memaksakan diri untuk tersenyum saat sahabatku itu mencoba membujukku dengan mengajak ke salah satu spot favoritku yang menjual sepatu-sepatu dengan harga miring itu.
***