20 Februari.
Jam setengah sepuluh malam.
“Mirip kayak kembang api, kan?”
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Rendi lantas menghentikan pergerakanku yang tengah meminum lemon tea hangat dalam mug besar favoritku. Mug ini kuberikan untuk Rendi dua tahun yang lalu, tepat saat aku dan dia merayakan hari jadian kami──yang sesungguhnya entah kapan tanggal jadian kami itu karena kami berpacaran begitu saja, mengalir seiring berjalannya waktu yang membuat kami terus bersama.
Namun, kami akhirnya memutuskan bahwa 17 Maret adalah tanggal jadian kami karena tanggal tersebut bertepatan dengan hari ulang tahunku. Agar mudah diingat, kata Rendi waktu itu.Waktu aku memberikan mug ini, aku masih bekerja di salah satu restauran di Bandung, sama halnya dengan Rendi yang memulai karirnya di salah satu perusahaan yang bergelut dalam bidang building development.
Aku lalu mengalihkan pandanganku dan menatap ke kejauhan, menembus jendela kamar Rendi di Weenapad yang terbuka lebar. Di sana, tepat di hadapanku, berdiri sebuah bangunan tinggi yang tampak berpendar. Di sudut kanan atasnya, ada logo huruf N yang menjadi salah satu center of attention dari bangunan yang penuh dengan kerlip lampu berwarna biru dan putih itu.
“Kembang api?” tanyaku.
Rendi bangkit dari kursi yang ada di dekat meja kerjanya, kemudian duduk di sampingku di atas tempat tidurnya. Sudah hampir lima belas menit aku hanya berdiam diri memandangi apa yang ada di balik jendela kamar Rendi.
“Iya,” jawab Rendi. “Kembang api. Banyak warna yang kamu liat di sana.”
Aku meneguk tehku, lalu berujar, “Tapi bangunan itu punya warna yang jauh lebih sedikit dibandingin kembang api.”
Rendi ikut-ikutan memandangi gedung yang ada di seberang kamarnya di lantai tujuh gedung Weenapad ini──sebuah student flat yang umumnya menjadi tempat tinggal sementara bagi mahasiswa Erasmus Universiteit.
“Kayaknya hal yang menarik di kepala kamu itu memang cuma kembang api, ya? Bahkan setelah kamu jadi orang sini, nggak ada yang menggeser posisi kembang api dari kepala kamu ini,” dia lalu mengelus lembut rambutku──hal yang membuat senyumku terbit.
Aku memanyunkan bibir, pura-pura berpikir keras. “Tapi aku suka juga dengan Arboretum Trompenburg, taman yang dipenuhin sama walking paths yang keren, pohon-pohon hijau, semak-semak yang warnanya kuning kecokelatan sampai merah, terus──”
“Yang waktu itu deket Kralingen itu, kan?” potong Rendi.
Aku mengangguk.
“Kalau gitu, next time kita harus ke sana,” putusnya tanpa menunggu jawabanku. “Terus... apalagi yang kamu suka?”
Aku menyesap lagi tehku sambil berpikir, sebelum akhirnya menjawab, “Scheveningen. Pantai. Urban-party di sana cukup... oke,” aku nyengir saat melihat Rendi menyipitkan mata saat aku mengatakan bagian party. “Aku nggak ngelakuin yang aneh-aneh kok, Ren.”
Rendi tersenyum. “Kenapa sih aku gampang banget percaya sama kamu, Ra?”
BUK!
Seperti ada tangan invisibel yang rasanya menonjok jantungku!
Rendi bilang dia percaya padaku. Padahal saat aku Scheveningen bersama Nathan beberapa bulan yang lalu──menikmati atmosfer laut dan pasir pantai, yang juga menyuguhkan pemandangan barisan bar, restauran, juga klub-klub yang ada di sana──aku hampir lupa tentang semua hal yang berhubungan dengan Rendi.
Aku bersenang-senang di sana. Sekadar mengobrol. Berjalan-jalan. Tertawa lepas. Dinner bersama Nathan. Tidak lebih. Tapi terasa istimewa. Sangat istimewa.
“Tapi dari yang semua kamu suka itu, nomor satunya tetep aja kembang api, kan?”
Thank God. Rendi mengajakku berbicara lagi──membuat lamunan dan kenanganku tentang Nathan menguap sesaat. Untuk saat ini saja.
Aku tersenyum lebar, “Iya, sih. Nomor satu tetep kembang api.”
“Matiin deh lampunya,” ujar Rendi kemudian.
Aku berjengit. “Mau ngapain?” tanyaku dengan ekspresi galak.
Rendi tertawa keras. “Hey... I'll be a good boy, you know,” dia pura-pura tersinggung.”Tapi kalau kamu milih biar aku nggak jadi good boy, boleh juga,” lanjutnya dengan pura-pura memasang tampang serius dan memandangi bibirku lekat-lekat──hal yang sempat membuat dadaku bergemuruh seketika.
“You choose. Good boy atau bad boy?” kataku, berusaha untuk bercanda.
Rendi berekspresi seakan pertanyaanku barusan adalah pertanyaan mahasulit yang perlu menghabiskan semua energi di tubuhnya agar bisa mendapatkan jawabannya.
“Udah ah!” kataku sambil tertawa. “Jadi kalau gitu, ngapain lampu kamarnya dimatiin segala?”
“Aduh, naluri kamu buat jadi cewek cerewetnya mulai kambuh tuh,”Rendi bergumam sambil berdiri dan berjalan mendekati dinding yang ditempeli saklar lampu kamarnya.
“Awas kalau macem-macem,” ancamku.