Maybe, Probably

Pia Devina
Chapter #12

Bab 11 - Pencarian

24 Februari.

Jam setengah enam sore.

Masih dapat kuingat dengan jelas ketika aku berlari mencari Rendi ke rumahnya, tepat setelah aku menemukan sebuah buku yang bertuliskan alamat papaku di kamar Nenek. Di awal April, tepat dua minggu setelah aku berulang tahun, aku berlari dari rumah nenek ke rumah Rendi──masih dengan seragam SMA lengkap yang aku kenakan.

“Belanda?”

Napasku terengah-engah, susah payah aku menganggukkan kepala untuk memberitahu lelaki di hadapanku yang baru saja mem-pause playstation-nya gara-gara kedatanganku yang tiba-tiba.

“Maksud kamu… papa kamu tinggal di sana?”dia mengulangi dengan raut wajah kebingungan.

Lagi, aku menganggukkan kepala, lalu menyodorkan buku dalam genggamanku mendekat ke arahnya. Kami duduk bersisian di atas karpet bermotifkan lambang Manchester United──klub bola kesayangangannya Rendi──dan buku yang membuat duniaku jungkir balik itu kemudian sudah ada di telapak tangan Rendi dengan keadaan terbuka.

Kedua mata kami lalu tertumbuk pada salah satu halaman putihnya yang terdapat gambar bunga lili berwarna ungu──tepat di bagian kanan──sejajar dengan huruf-huruf yang berbaris dalam tinta hitam yang mulai memudar. Akhirnya mata kami saling berpandangan kembali, setelah beberapa saat menjadikan tulisan di buku itu sebagai pusat bumi kami.

Tapi tiga detik kemudian, aku dan Rendi kembali memandangi halaman buku itu dengan wajah tegang, tidak tahu harus berbuat apa.

Tulisan bertinta hitam yang terangkai di sana.

Tulisan yang menyebutkan satu nama: PriyadiAdidarna.

Dan, di bawah tulisan nama itu, ada sebuah alamat dengan beberapa kata yang asing terbaca, juga sebuah nama kota yang disebut di sana.

Rotterdam.

Papaku ada di Rotterdam, Belanda.

“Ren... Papa...”

Rendi menoleh. Dia bangkit dari duduknya, kemudian dalam gerakan cepat dia membawakan aku segelas air dari dalam dispenser yang ada di salah satu sudut ruang tamu di rumahnya. “Minum dulu.”

Hanya satu teguk. Kepalaku seperti diputar-putar layaknya sedang ada di area komidi putar. Jantungku menderu. Aku tahu di mana keberadaan papaku. Sebuah tempat yang sangat jauh di lintas benua sana. Tapi setidaknya, aku mengetahui di mana keberadaan papaku itu. Tapi tetap saja… Belanda adalah satu tempat yang terlalu jauh untuk kujangkau.

“Apa yang pengin kamu lakuin, Ra?” Rendi berkata hati-hati saat itu.Tubuhnya sedikit berlutut dengan kepala agak menunduk, memandangi aku yang seketika merasa seperti zombie.

“Aku... aku nggak tau, Ren. Rotterdam... terlalu jauh.”

Rendi diam. Aku rasa dia ikut frustrasi dengan kenyataan itu. Selama ini dia lah salah satu orang terdepan yang menyuruhku untuk tetap bersemangat dan meyakinkanku bahwa suatu saat aku akan bertemu papapku.

Namun, dengan kenyataan yang mengatakan bahwa papaku ada di belahan bumi yang jauh di sana, aku merasa sedikit asa untuk bertemu papaku itu mulai meluntur.

Luntur.

Sama halnya seperti tinta-tinta harap yang tertulis dalam diam di hatiku, yang juga ikut memudar: aku ingin ketemu papa.

Tulisan itu sudah kucatatkan semenjak aku kecil, sejak aku mengerti apa arti seorang sosok bernama ayah yang tidak pernah kukenal. Namun layaknya buku kenangan yang tersirami air, tulisan itu lantas meluntur. Terhapus karena sakit yang kurasa, saat menyadari kalau Papa memang telah meninggalkanku dan Mama begitu saja.

Sampai akhirnya rindu yang bercokol di dadaku muncul kembali ke permukaan, saat aku benar-benar merindukan kehadiran mamaku. Tepat setelah lulus SMA, tangisku pecah ketika menyadari bahwa Mama tidak menghadiri acara kelulusan sekolahku. Karena saat itu dia sudah pergi. Di hari kelulusan sekolahku itu, tidak ada satu orang pun keluargaku yang memelukku dengan air mata haru yang bersembunyi di sudut-sudut mata mereka. Hanya ada Rendi dan mamanya. Tidak ada Mama. Juga tidak ada Papa.

“Aku ingin nyusul, Papa.”

Kalimat itu, yang kulontarkan pada Rendi satu bulan setelah kelulusan SMA, sontak saja membuat dia terbengong.

“Tapi kan itu jauh, Ra. Gimana caranya kamu pergi ke sana?”

Saat kami berbicara di sebuah bangku panjang di taman di dekat rumah Rendi waktu itu, aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Karena aku sungguh-sungguh tidak tahu.

“Pertimbangin dulu baik-baik. Kalau ke luar kota, masih mungkin, Ra,”R endi mengelus pelan puncak kepalaku.

Seetes air mataku jatuh. Namun aku tidak berani mendongakkan kepala. Aku tidak berani melihat Rendi, karena aku pasti akan menangis luar biasa sesaat berikutnya setelah Rendi memandangiku degan tatapan simpati.

Saat itu, aku berpikir bahwa aku perlu untuk mempertahankan kewarasanku, sebuah logika yang mungkin terdengar tidak logis, namun kuyakini akan terjadi. Aku akan pergi ke Belanda. Menyusul papaku. Suatu hari, aku pasti akan pergi ke Belanda.

Yang terjadi berikutnya, aku kuliah di jurusan pariwisata, di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Dengan biaya dari nenekku──seorang wanita yang menyimpan marah kepadaku, namun dalam ketidaksukaannya kepadaku, dia tetap memandangku sebagai darah dagingnya, dia berniat untuk membiayai kuliahku sampai lulus, walaupun sering terjadi perdebatan panjang di antara kami berdua.

Dalam pandangan nenekku itu, tanggung jawabnya terhadapku hanya sebatas hingga aku lulus kuliah dan aku sanggup membiayai kehidupanku sendiri. Hanya sebatas itu. Nenek merasa tidak perlu lagi untuk mengambil pusing akan apa yang terjadi di dalam hidupku selanjutnya.

Lalu, sebelum aku lulus kuliah, seorang pria yang mengaku bernama Om Iwan menghubungiku dan mengatakan akan membantuku untuk menyusul Papa ke Rotterdam.

Aku ragu untuk mengiyakan. Mungkin karena aku belum siap untuk bertemu Papa. Atau karena aku belum siap untuk memaafkan Papa.

“Bukannya ini yang kamu mau, Ra?”

Rendi menyeretku kembali ke masa kini, membuatku meninggalkan kenangan-kenangan yang terpatri jelas di dalam kepalaku.

Rendi yang duduk di sampingku di sofa ruang tamu di apartemenku, bergeming menunggu jawabanku.

Sorry kalau aku selama ini nggak bilang sama kamu... kalau sebenernya semenjak aku sampai di Rotterdam, aku nyari alamat papa kamu.” Rendi meraih kedua tanganku yang tersimpan di atas kakiku, lalu menggenggam kedua tanganku itu dengan erat. “Kamu pengin ketemu papa kamu, kan?”

Rasanya napasku tertahan di tenggorokan. Kepalaku penuh dengan asap tebal yang menusuk dan membuat kepalaku nyeri.

Lihat selengkapnya