2 Maret.
Jam sebelas siang.
Jalanan di hadapanku tampak lengang. Deretan bangunan berlantai dua dengan cat putih susu bertengger kokoh di sisi kanan jalan, sementara di seberang sana, sederet gedung berdinding cokelat tampak mengilap terkena sinar matahari menjelang musim semi yang mulai menyapa Utrecht──salah satu kota terbesar yang ada di Belanda, yang terkenal sebagai kota pelajar dan sebagian besar penduduknya adalah kaum muda.
Dengan ragu, aku melangkahkan pelan kakiku menuju salah satu pintu apartemen yang ada di dekat sebuah tiang lampu jalanan. Sekali lagi aku melihat layar ponsel yang ada di tangan kananku, memastikan bahwa aku tidak salah alamat.
Postbus 767, Utrecht.
Begitu tulis pesan yang dikirim Matthew beberapa hari yang lalu. Sebuah alamat di mana Nathan tinggal selama beberapa minggu terakhir. Sebuah alamat di mana lelaki itu memilih untuk menjaga jarak dariku.
Detik berikutnya, rasanya ada yang bergejolak di dalam perutku saat aku mulai menapaki anak tangga menuju pintu yang ada di bagian tengah bangunan berwarna putih.
***
Sepuluh menit kemudian.
“Ra?”
Bibir Nathan agak sedikit terbuka──saking kagetnya──saat membukakan pintu untukku. Barusan, sebelum dia membukakan pintu dan melihat dari lubang pintu dan menyadari siapa yang tengah menekan bel, ada jeda selama beberapa detik. Jeda yang terbentuk karena Nathan sedang memastikan kepada dirinya sendiri bahwa dia tidak sedang berhalusinasi.
Dan sekarang, Nathan hanya mematung memandangiku. Bibirnya yang sudah akan terbuka untuk berbicara, dia katupkan lagi, seakan ragu dengan apa yang akan dia ucapkan kepadaku.
“Hai,” ucapku susah payah. Rasanya ada duri ikan yang menusuk kerongkonganku. “Apa kabar, Than?”
Lagi, ada jeda selama beberapa detik di antara kami berdua. Dia memandangiku dengan intens, seperti ingin menghamburkan banyak pertanyaan kepadaku──hal yang juga kulakukan kepadanya.
“Oh, lumayan,” jawabnya kikuk──akhirnya.”Kamu… apa kabar?” dia balas bertanya.
“I’m good,” aku menganggukkan kepala, mencoba untuk tetap bersikap santai──satu hal yang sesungguhnya sulit untuk kulakukan saat ini.
Matthew benar. Lelaki di hadapanku memang tampak agak kurusan. Pipinya menirus. Rambutnya berantakan, mulai gondrong dengan panjang rambutnya yang telah melewati bagian tengkuknya. Ada garis samar kehitaman di bawah matanya. Ah, kurasa kebiasaan buruknya yang seringkali begadang demi menyelesaikan pekerjaannya, mulai kambuh lagi.
“Silakan masuk, Ra,” ujar Nathan dengan ragu, lalu membuka pintu berwarna silver di hadapan kami lebar-lebar, kemudian mempersilakan aku untuk masuk.
“Kamu ada perlu apa di Utrecht?” tanya Nathan setelah aku duduk di salah satu sudut sofa bernuansa kayu di ruang apartemen yang berlantaikan laminated parquet ini.
Sementara itu, dia masih berdiri dengan cukup menjaga jarak dariku. Kurasa dia masih kebingungan dengan kehadiranku yang tiba-tiba muncul di hadapannya seperti ini.
“Mengunjungi teman?” tanyanya lagi saat aku hanya diam tanpa menjawab pertanyaan darinya.
Aku menelan ludah. “Mengunjungi kamu. I've just... missed you.”
Kalimat itu meluncur begitu saja──menyisakan pusaran kekagetan yang luar biasa di wajah Nathan, juga di wajahku. Aku tidak menduga bahwa akhirnya aku bisa mengucapkan apa yang sesungguhnya ingin kukatakan kepada Nathan selama ini.
Sepertinya aku benar-benar sudah gila.
***
Jam dua siang.
Hampir lima puluh menit perjalanan menggunakan kereta dari Rotterdam Centraal hingga aku menginjakkan kaki di stasiun Utrecht, selama itu pula aku merasa waktu berjalan terasa sangat lambat. Anehnya, yang ada di kepalaku hanyalah satu pertanyaan: apa yang akan kukatakan kepada Nathan nanti?