Maybe, Probably

Pia Devina
Chapter #14

Bab 13 - Sebuah Garis di Antara Kebahagiaan

3 Maret.

Jam setengah tiga sore.

“Sekarang, hal yang harus kamu prioritasin adalah Rendi. Juga papa kamu.”

Kalimat yang diucapkan Nathan kemarin berkelibatan cepat di dalam kepalaku, menemani kesendirianku yang tengah berdiri di depan La Angelique. Kedua tanganku saling mengait. Jari-jariku saling menekan tak tentu arah di tengah kegugupan menghadapi apa yang akan kulakukan tidak lama lagi.

Find him, Ra. I beg you.”

I beg you.

Apakah Nathan benar-benar mengharapkan agar aku bisa bertemu dengan ayah kandungku hingga dia berbicara demikian?

Aku memejamkan mata selama tiga detik, berusaha untuk menyingkirkan bayangan Nathan dari dalam kepalaku. Sebentar. Hanya untuk sebentar──termasuk menyingkirkan pikiran tentang ponsel Nathan yang masih ada padaku.

Nathan belum menghubungiku untuk menanyakan tentang ponselnya itu. Mungkin akan lebih baik kalau aku pergi ke Utrecht lagi untuk mengembalikan ponsel itu, sehingga aku pun bisa bertemu dengannya… lagi?

Sudah, cukup. Aku harus memfokuskan isi kepalaku dengan apa yang akan segera kulakukan.

Aku mengecek ponselku lagi, memastikan apakah ada e-mail balasan dari Om Iwan atau tidak. Tadi pagi-pagi sekali, aku mengirim e-mail dan memberitahunya kalau hari ini aku akan mencari papaku. Tapi rupanya, sampai jam segini pun, dia belum membalas e-mailku itu. Mungkin dia memang sedang sibuk dengan pekerjaannya di Jerman. Ya sudah, tidak apa-apa. Setidaknya aku sudah mengabari pria itu.

Aku lalu memutar kepala. Dari dinding restauran yang terbuat dari kaca, aku melihat beberapa orang waiter dan waitrees di La Angelique yang tengah sibuk mengantarkan pesanan makanan kepada para pengunjung. Sementara James, dia berdiri di belakang counter, sibuk berbicara dengan Irina.

Aku melenguh kasar, mengingat percakapan──nyaris berujung perdebatan──yang tadi terjadi di antara aku dan James.

Sepanjang pagi, James banyak menegurku karena katanya, aku banyak menghabiskan waktuku dengan bengong, bukannya melaksanakan pekerjaanku dengan baik sebagai seorang sous chef di kitchen.

Aku sudah mengatakan pada James kalau sekarang ini aku butuh waktu untuk pergi ke suatu tempat. Permintaan yang berlebihan menurut James.

Iya, aku tahu itu. Tapi masalahnya, pikiranku sekarang terlalu acak-acakan untuk dipakai me-manage pekerjaanku sendiri.

Jadi, yang terjadi tiga puluh menit yang lalu, tepat saat jam di dinding kitchen menunjuk angka dua, James mendatangiku dan mengizinkanku pergi selama dua jam, dengan catatan dia akan memotong gajiku, juga mengganti dua jam yang hilang hari ini dengan hari lain.

Aku sudah tidak ingin memprotes atasanku itu lagi. Karena sesungguhnya, aku tahu bahwa aku yang memang ngotot untuk izin beberapa jam. Jadi aku iyakan saja semua syarat dari James tanpa ba-bi-bu lagi.

Aku merapatkan jaket tipisku. Beberapa tetes air jatuh dari kanopi berwarna hijau yang ada di bagian depan restauran. Ah, mulai hujan lagi. Cuaca moody di Rotterdam tengah kambuh, padahal ini masih awal musim semi. Aku lalu mundur selangkah, menjaga tubuhku agar tidak kehujanan.

Jalanan di hadapanku mulai ramai dengan orang-orang yang menggunakan payung, sementara benakku mulai ramai dengan percakapan yang terjadi antara aku dan Rendi tadi malam di telepon.

“Aku... mau ketemu Papa, Ren.”

Rendi sempat terdiam saat tadi malam kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku.

“Kamu serius, kan?” Rendi bertanya untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bercanda dengan kata-kataku sendiri.

Aku mengganggukkan kepala──yang jelas-jelas tidak terlihat oleh Rendi.

“Ra?” Rendi memanggil namaku saat suaraku menghilang begitu saja.

“Iya,” jawabku lirih

Setelah itu, aku tahu Rendi tersenyum lega. Dia lantas berbicara panjang lebar tentang keputusan terbaik yang telah aku buat, tentang betapa senangnya dia karena aku mau pergi bersamanya untuk menemui papaku... dan betapa merasa bersyukurnya dia karenaapa yang diusahakannya selama ini untukku──membantu mempertemukan aku dengan papaku──akan segera membuahkan hasil.

Dia merasa sangat bahagia karena kami berdua akhirnya akan membuat pertemuanku dengan papaku itu menjadi nyata. Pertemuan yang lebih baik daripada pertemuan pertama──begitu Rendi meyakinkanku.

Aku merespons beberapa ucapan Rendi, mencoba membuatnya percaya bahwa aku pun sangat bahagia dengan rencana kepergian kami ke Stadsdriehoek, sebuah daerah yang tidak terlalu jauh dari Blaak Market.

“Iya, Ren, kita pergi besok,” kataku tadi malam.

Lihat selengkapnya