Maybe, Probably

Pia Devina
Chapter #15

Bab 14 - Hati yang Patah

4 Maret.

Jam setengah sembilan malam.

Jadi, benda ini sudah ada bersamaku selama dua hari, sementara sang pemiliknya belum juga mencoba untuk menghubungiku.

Aku melenguh kesal sambil tetap memandangi ponsel hitam yang sekarang ada di dalam lokerku di ruang ganti ruang restauran. Aku berharap, setidaknya Nathan mencariku untuk sekadar menanyakan apakah ponselnya ini ada padaku atau tidak, walaupun mungkin bisa saja dia berasumsi kalau ponselnya ini hilang──terjatuh entah di mana.

Tunggu. Apakah Nathan sungguh-sungguh tidak mempunyai clue atau memikirkan kemungkinan kalau benda ini ada padaku? Kalaupun dia tidak hapal nomor teleponku, dia bisa menghubungiku lewat e-mail, kan? Masa sih dia tidak bisa membuka e-mail dari laptopnya? Atau komputer kantornya?

“Kamu sedang apa?”

Aku terlonjak saat seseorang tiba-tiba membuka pintu. Aku membalikkan tubuh dengan jantung yang masih berdetak keras karena kaget.

“Matt! Ini kan loker perempuan! Kamu jangan seenaknya masuk ruangan ini, dong!” aku memprotes keras tindakan Matthew. “Kalau kamu ke sini untuk mecariku dan menanyakan lobster yang baru datang tadi, aku sudah menyimpannya di freezer. Bersama dengan lobster. Oh, dan red wine-nya sudah aku letakkan di ruangan──”

“Baiklah, aku mengerti,” potongnya. Matthew lalu memiringkan kepalanya sedikit, “Tapi barusan aku sudah mengetuk pintu dan tidak ada jawaban. Jangan kira aku masuk seenaknya ke sini. Kupikir tidak ada orang di sini.”

Oh, Matthew ternyata mengetuk pintu  dan aku tidak mendengarnya karena terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri.

“Kenapa kamu tidak langsung pulang?” tanyanya kemudian, memandangi seragam putihku yang masih kukenakan.

“Aku sedang menyiapkan kaldu dengan resep yang baru kubuat.”

Matthew yang memang sudah melepaskan seragam kokinya dan menggantinya dengan kaus gombrong dan jeans biru belel, akhirnya berpamitan. “Baiklah kalau begitu. Aku duluan, ya!”

“Eh, Matt!” aku memanggilnya sebelum dia menutup pintu.

“Apa? Pasti ingin bertanya tentang Nathan lagi,” dia langsung mengambil kesimpulan.

Aku terdiam.

“Katanya ponselnya hilang. Tadi dia mengirimiku e-mail,” ujarnya bahkan sebelum aku bertanya lebih lanjut.

“Tunggu!” potongku cepat sambil berjalan mendekati pintu. “Kamu bilang dia mengirim e-mail kepadamu?”

Matthew mengangguk cepat──dia mungkin tidak menyadari perubahan nada suaraku yang seperti keluar dari rongga tenggorokan yang disumpal kain.

Apa maksudnya? Nathan bisa mengirim e-mail kepada Matthew... tapi tidak kepadaku?

Dan... dia sungguh-sungguh tidak menyadari kalau ponselnya ada padaku?

“Aku pulang duluan, ya,” Matthew akhirnya mundur selangkah dan berlalu menjauhi pintu, meninggalkanku sendirian dengan satu pertanyaan lain yang menggantung di kepalaku.

Kurasa... aku perlu men-charge ponsel Nathan. Memang akan mengganggu privasinya, aku tahu. Tapi aku membutuhkan jawaban tentang apa yang sebenarnya Nathan pikirkan tentangku.

***

Jam sembilan malam.

Langkahku terhenti seketika saat aku menyadari ada seseorang yang tengah berdiri di sebelah pintu apartemenku. Lelaki itu, dengan kedua tangannya yang tersimpan di saku jeans yang sobek di salah satu lututnya, sedang menungguku.

“Irina bilang hari ini kamu pulang terlambat. Terlalu banyak extra work di restauran?” Nathan bertanya dengan seulas senyum yang tergambar di wajahnya.

Tapi, ada yang janggal. Dia tidak tersenyum seperti biasanya──sepertinya ada hal serius yang membuatnya resah.

Aku mematung selama beberapa detik, menimbang apakah aku harus mengatakan kepada Nathan kalau ponsel miliknya ada padaku atau tidak mengatakannya. Atau… aku pura-pura lupa kalau ponselnya itu ada padaku dan baru memberitahunya besok… setelah aku men-charge ponselnya itu?

Ini gila. Bisa-bisanya aku berpikiran untuk membuka sekilas ponsel Nathan itu. Tapi entahlah… aku merasa ada yang disembunyikan Nathan dariku. Instingku mengatakan demikian. Dan instingku juga mengatakan kalau aku perlu untuk mengetahui apa yang Nathan coba sembunyikan dariku.

Aku menghela napas panjang sekali, kemudian berjalan──akhirnya──mendekat ke arah Nathan yang masih berdiri di tempatnya.

Hatiku rasanya seperti benang kusut. Semenjak kepulanganku dari Utrecht, Nathan tidak pernah muncul di hadapanku atau mencoba menghubungiku, bahkan untuk menanyakan apakah aku melihat ponsel miliknya atau tidak!

Dia... jelas-jelas sedang menjaga jarak dariku.

“Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku dengan nada datar──ekspresi yang susah payah kubangun agar Nathan melihat bahwa aku baik-baik saja dengan sikapnya beberapa waktu terakhir ini.

“Mau ketemu Irina?” tanyaku kemudian dengan nada sarkastis. Seandainya Nathan tahu alasan mengapa aku memilih untuk bersikap seperti ini.

Nathan menggelengkan kepala, lalu tersenyum tipis.

“Terus? Buat apa kamu ada di sini? Kalau nggak salah, apartemen kamu ada di lantai bawah, bukan di lantai empat ini,” aku meneruskan perkataanku sambil membuka kunci pintu apartemenku.”Atau kamu mau balik lagi ke Utrecht dan cuma berkunjung sebentar ke apartemen ini?”

“Aku nanya beberapa hal tentang kamu ke Irina,” Nathan berkata pelan di belakang tubuhku, mengabaikan kata-kata yang kuucapkan sebelumnya.

“Untuk apa kamu nanya-nanya?” pintu pun terbuka.

Aku memutuskan untuk tutup mulut tentang masalah ponsel milik Nathan. Aku baru akan memberitahunya besok. Titik.

“Kalau nggak ada urusan lagi, aku masuk dulu, ya. Selamat mal──”

“Ra,” Nathan memotong ucapanku.

Aku membalikkan tubuhku. Jarak kami hanya kurang dari satu meter, tapi rasanya ada jurang lebar yang mengaga di antara kami berdua.

Nathan lekat memandangiku. “Aku lapar. Aku ingin minta ditemenin makan sama kamu, bisa?”

***

Jam setengah sepuluh malam.

Aku tidak tahu dengan apa yang ada di kepalaku. Jelas-jelas aku menyuruh diriku sendiri untuk mengikuti apa yang Nathan mau sebelumnya──menjaga jarak hubungan di antara kami berdua. Akan tetapi, ketika Nathan tiba-tiba muncul lagi di hadapanku dan memintaku untuk makan bersamanya malam ini, tidak ada protes yang kulayangkan kepadanya. Aku hanya diam dan berjalan bersamanya menuju salah satu restauran di Euromast ini. Euromast, salah satu bangunan tertinggi di Belanda, yang tingginya hampir mencapai dua ratus meter.

“Kalau kamu lapar, aku bisa bikinin kamu makanan di apartemen. Kita nggak perlu ke sini.”

Nathan hanya tersenyum miris mendengarkan statement-ku. “Jadi, kamu nggak suka kalau aku ajak makan di sini? Padahal aku lagi pengin ada di tempat tinggi buat ngeliat pemandangan Rotterdam. Udah lama kita nggak keluar untuk makan malem kayak gini, kan?”

Aku meminum minumanku yang tinggal separuh di gelas tinggi yang ada di hadapanku. Aku lalu mengalihkan pandanganku ke sebelah kiri tubuhku──menembus jendela kaca dari restauran yang terletak hampir seratus meter dari permukaan tanah ini, dan mendapati panorama Rotterdam yang dipenuhi dengan gemerlapnya cahaya lampu di malam hari.

“Aku akan ngerasa beruntung kalau salah satu di antara titik yang ada di sana, adalah tempat di mana orang tua aku berada. Orang tua yang nunggu aku.” Nathan menunjuk ke arah kejauhan. “Bukannya gitu?”

Lihat selengkapnya