Hari berikutnya, aku masih tidak juga mendapatkan kabar dari Rendi. Setelah pertengkaran itu, dan setelah Rendi mengatakan kalau dia butuh waktu untuk berpikir, aku memutuskan untuk menyanggupi apa yang diinginkan olehnya itu. Walaupun pada kenyataannya, aku ingin mencoba untuk menghubunginya... dan meminta maaf lagi.
“Salad di meja nomor lima belas sudah siap?”James berbicara dari balik punggungku.
Aku terlonjak kaget saat mendengar suaranya yang membahana itu. James yang beberapa hari ini sering kali menangkap basah aku yang sedang melamun, tentu saja semakin geram saat mendapati lagi-lagi aku melamun seperti barusan.
“Be-lum,” jawabku tergugup setelah membalikkan tubuh dan berdiri berhadapan dengan James.
“Apakah kamu bisa fokus dengan pekerjaan kamu di restauran ini? Bagaimana mungkin kamu bisa menyajikan makanan yang memuaskan pengunjung kalau kamu tidak bisa bekerja dengan benar?!” dia menggebrak meja──membuat partner-partnerku yang lain yang ada di dapur, memandangi kami berdua dengan terperangah. Beberapa di antara mereka bahkan memasang ekspresi horor.
“Maaf, Chef...” ucapku pelan.
“Kalau kamu terus bertingkah seperti ini, aku akan mencari orang lain yang lebih layak menjadi sous chef dibandingkan kamu!” dia memandangiku dengan mata berkilat. “Aku tidak main-main, Kirana Evalia!”
Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Aku tahu... ancaman James itu bukanlah omong kosong.
***
“Kamu tidak bergegas pulang, Kira?”
Aku menoleh, mendapati Dennise yang telah mengganti seragam kokinya dengan mantel biru miliknya.
“Sebentar lagi,” jawabku dengan berusaha mengurai senyum.
Dennise memandangiku lekat. “Kamu sedang punya masalah, ya?”
“Aku baik-baik saja, kok.”
Dennise tahu kalau aku sedang berbohong, tapi dia lebih memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. “Baiklah. Kuharap kamu memang baik-baik saja, Kira,” dia tersenyum, lalu menepuk pelan pundak kananku. “Jangan terus-terusan memasang tampang sedih seperti itu. Kalau begitu terus, kamu akan membuat orang-orang di sekitar kamu khawatir.”
“Thanks, ya...”
“Aku duluan. Kamu juga cepat pulang, jangan sampai terkunci di tempat ini,” dia mengakhiri ucapannya sambil tertawa, lalu segera beranjak menuju pintu.
Aku mengempaskan tubuhku di atas kursi yang ada di ruang ganti. Kepalaku berdenyut. Hatiku benar-benar tidak tenang.
Bagaimana dengan kabar Rendi...?
Lalu.... bagaimana dengan... Nathan?
Aku langsung bangkit berdiri saat menyadari ada hal yang kulupakan. Karena pertengkaranku dengan Rendi, aku lupa kalau aku berniat untuk men-charge ponsel Nathan dan mencari jawaban dari pertanyaan yang ada di kepalaku.
Aku menarik satu napas panjang, lalu mendekati lokerku dan membuka pintunya yang berwarna silver.
Ponsel milik Nathan ada di sana.Tergeletak di antara tumpukan buku Something Blue-nya Emily Giffin yang baru mulai kubaca kemarin, dan beberapa barang lainnya yang ada di dalam loker──termasuk charger ponsel milikku.
Dengan jantung berdetak keras, aku meraih ponsel Nathan dan charger milikku itu. Dengan adanya kedua benda itu, semoga aku bisa mendapatkan jawaban tentang apa yang mungkin disembunyikan Nathan dariku.
***
Setelah sampai di apartemenku dengan tergesa-gesa, aku menghempaskan diri ke atas tempat tidur sebelum akhirnya aku memutuskan untuk memejamkan mata bahkan tanpa mengganti pakaianku lebih dulu.
Ini gila, ini gila!
Aku sudah men-charge ponsel milik Nathan. Tapi yang terjadi berikutnya adalah... aku tidak berani untuk menyalakan benda itu sekarang!
Iya. Mungkin tidak sekarang.
Dan mungkin... Nathan tidak menyembunyikan sesuatu dariku, kan?
***
6 Maret.
Jam satu siang.
“Kamu tahu apa yang paling menyebalkan dari laki-laki?”
Aku yang tengah menyiapkan bumbu pasta, salah satu pesanan di meja nomor sebelas, menoleh pada Denisse yang sedang sibuk dengan main course yang sedang disiapkan olehnya.
“Ketika para lelaki itu tiba-tiba menghilang setelah sebelumnya mereka sibuk untuk mendekatimu,” sambung gadis berambut cepak itu yang diakhiri dengan dengusan sebal di akhir kalimatnya. “Semalam, seorang lelaki bertingkah memuakkan saat kami sedang bersenang-senang di WORM[1]. Brengsek!”
“Kamu dicampakkan?”
Denisse memutar kepalanya sembilan puluh derajat ke arahku yang berdiri satu meter darinya.
“Apakah aku benar-benar terlihat seperti perempuan yang baru saja dicampakkan?” tanyanya dengan mata membulat.
Aku tertawa kecil──sebuah tawa yang ternyata agak kupaksakan di antara kondisiku yang sungguh tidak memungkinkan untuk membuatku tertawa lepas.
“Kamu kan playgirl-nya di area Schiekade ini,” candaku. “Masa kamu dicampakkan?”
Denisse menganggukkan kepala dengan cepat. “Ah, benar. Masa aku dicampakkan begitu saja.”