7 Maret.
Jam lima sore.
“Mungkin kamu akan ngerasa lebih baik kalau aku ngelepasin tangan kamu...”
Seperti mimpi, aku mendengar suara Rendi menggemakan kalimat yang tidak sanggup kuserap ke dalam otakku. Ketika tadi malam aku pergi ke Weenapad dan berbicara tentang banyak hal yang terjadi di dalam hubungan kami, akhirnya Rendi mengutarakan satu kesimpulan yang dalam waktu sepersekian detik sanggup membuat darahku terasa berhenti mengalir.
“Maaf... untuk janji yang mungkin nggak bisa aku tepati sama kamu.”
Aku menarik napas dalam. Paru-paruku terasa sesak, bahkan ketika angin musim semi meniup lembut pori-pori kulitku──menemani langkah kakiku di atas jalan setapak yang terlapisi batu-batu persegi berukuran kecil.
“Aku masih sayang sama kamu, Kira. Tapi kalau ngelepasin kamu bisa jadi satu jawaban terbaik buat kamu... aku akan ngelepasin kamu.”
Rendi, tadi malam, bangkit dari duduknya di sampingku, lalu berjalan mendekati jendela kamarnya yang terbuka lebar.
“I was your home... and I wish I will always be your home. Tapi aku tau, untuk saat ini...I'm no longer becoming your home.”
Suara klakson panjang membangunkanku dari lamunanku. Aku mundur selangkah saat ternyata lampu hijau sebagai tanda untuk menyebrang jalan bagi pejalan kaki telah berubah menjadi warna merah.
Sebuah mobil Mercedes hitam melintas cepat setelah aku menganggukkan kepala tanda meminta maaf. Aku lalu buru-buru mundur kembali ke sisi trotoar, mencoba untuk memfokuskan kembali pikiranku. Namun yang terjadi berikutnya, pikiranku justru tertumbuk pada seorang lelaki lain yang hatinya juga telah tersakiti karenaku.
Aku ingat jelas bagaimana raut wajah Nathan saat dia membukakan pintu apartemennya dengan raut wajah kaget ketika mendapati aku yang sedang berdiri mematung di hadapannya pada pagi-pagi buta. Iya, tadi pagi.
Entah kekuatan dari mana yang berhasil membuatku tersenyum──sebuah senyum yang mungkin bisa terbaca sebagai senyum bahagia. Senyum bahagia yang palsu.
“Boleh aku masuk?” tanyaku ragu.
Nathan menganggukkan kepala, lalu mempersilakan aku untuk duduk. “Ada yang urgent, Ra? Ini masih jam enam pagi. Apa── “
“Aku butuh bicara sama kamu, Than,” aku berkata cepat, tepat setelah aku duduk di atas sofa yang ada di ruang tamu di sharing apartment-nya Nathan.
“Iya. Kita emang nggak bisa berdiam diri menghadapi kerumitan dalam hubungan ini. If we should call it as a relationship.”
Nathan menggariskan sebuah senyum di ujung ucapannya. Sebuah senyum miris yang kurasa dicobanya agar menjelma menjadi sebuah senyum penuh canda.
Aku membalas senyum itu. “We just know that our hearts are binding by that four letters, kalau aku tidak salah berasumsi.”
That four letters. L. O. V. And E. Those letters.
Nathan yang duduk di hadapanku masih tersenyum. Hanya kami yang tahu bagaimana sulitnya untuk tersenyum dikala kami tahu apa yang tengah kami berdua rasakan.
“Mungkin kita memang harus berhenti di persimpangan jalan ini,”aku berbicara dengan suara tercekat. “I know where my heart goes, but I couldn't follow that path.”
“Seperti utara dan selatan, juga seperti timur dan barat.”
Mataku perih. Aku tidak baik-baik saja, begitu pula dengan Nathan. Kami berdua sama-sama terluka.
Tangisku lantas terurai. Aku mencoba untuk menghapus air mataku dengan punggung tanganku. Akan tetapi, saat Nathan bangkit dari sofa di hadapanku dan berjalan mendekatiku, lalu berjongkok tepat di hadapanku, air mataku justru jatuh semakin deras.
“I love you, Kira. I do... really love you. Tapi aku tau... kita harus berhenti. Dan kamu datang menemui aku sekarang... aku tau, kamu ingin kita berhenti sampai di sini. Kamu ingin kita menyerah dengan perasaan kita masing-masing...”
“Maaf...” suaraku bergetar.
Nathan meneratkan genggaman tangannya di tanganku. Dia mendongakkan kepala, menatapku dalam, lalu berkata, “Aku bersyukur pernah punya perasaan ini buat kamu...”