Tapi ... ah, sudahlah.
Mungkin aku memang bodoh.
Sampai pada pertemuan yang keempat ini aku merasa tidak sepaham.
Tetap tidak sepaham!
Apakah aku sok tahu? Ataukah, aku harus berbohong pada diri sendiri?
Benakku pun bergumam hebat, dalam geliat khayal menikmati perjalanan pulang di malam yang terasa ganjil. Kedua tanganku menyeimbangkan laju kendaraan, seiring tatapan fokus pada sorot lampu kuning redup yang mengiringi jalan.
"Gimana, Dul? Gue aja yang cuma jadi muridnya udah dianggap kayak anak sendiri, kok. Lo jadi ikutan gak?" temanku bertanya.
"Gue belum bisa, Ben. Gue masih sibuk sama diri gue sendiri," jawabku, sedikit menengok, sambil melepas kepalan jemari pada hendel gas motor. Langit memerah. Udara panas kurasakan menghampiri punggung tangan dan badan. Sepertinya cuaca akan segera hujan.
"Udah, lo jangan banyak bantah, ikut aja. Si Amir aja mau ikut belajar," ujar temanku, Benny, dengan suara agak keras. Sepintas, aku tidak menjawab pertanyaannya, terus mengamati pemandangan jalan.
"Heh, diem aja, sih, lo," sambungnya.
"Iya, lihat nanti," balasku seraya mempercepat laju motor.