MAYDARA

Rudie Chakil
Chapter #2

Panggilan Seseorang

“Jamaah masjid Jannah Fi Jannah yang dimuliakan Allah Azza Wa Jalla. Di dalam kitab suci Alquran sudah disebutkan, bahwa dunia ini adalah alam yang fana. Yaitu tidak kekal dan bersifat sementara.”

Runtunan kata demi kata dari Sang Khatib terdengar begitu semangat memulai khotbah Jumat. Pukul dua belas lewat lima menit, di salah satu masjid di daerah Jakarta Selatan.

Sebagai jamaah yang baik, aku jelas mendengar ceramah dengan serius, meski tak dapat kumungkiri, terkadang terlintas juga pertanyaan-pertanyaan di dalam pikiranku.

Apakah Pak Ustaz ini sesuai, antara prilakunya sehari-hari dengan apa yang ia ucapkan?

Sungguh, pertanyaan tersebut datang tanpa diundang. Aku juga mengerti, jika apa-apa yang kupikirkan masih terkandung benar dan salah. Aku pun merutuk benakku sendiri.

Diam! Sudah, diam! Dengarkan, dan tidak usah berkomentar!

Kepalaku menengok ke kanan dan kiri, melihat sesama jamaah yang tengah menunaikan ibadah mulia ini. Ternyata sebagian dari mereka ada yang tertidur, ada yang fokus memperhatikan, ada yang mengantuk-antuk, bahkan ada pula yang bermain ponsel.

Aduh, sembarangan benar nih orang. Benakku bergumam lagi. Aku segera meredam laju pikiran yang memang sering tidak terima bilamana ada rasa kurang berkenan.

Biarlah ... itu kan bukan urusanku.

Aku kembali mendengarkan khotbah, menjadi jamaah yang baik sampai selesai.

Selepas salat Jumat, ketika jamaah sudah agak berkurang, aku merebahkan badan di salah satu sudut masjid. Embusan udara sejuk yang keluar dari pendingin ruangan memberikan kenyamanan bagi suasana hatiku yang tengah bergejolak.

Langit-langit masjid ini begitu megah, indah, dengan warna dan ornamen yang bercorak sempurna sebagai tempat ibadah. Aku paham, juga merasa kagum. Namun aku sedang malas menikmati keindahannya. Fisikku tidaklah lelah. Aku lelah karena harapan besar ingin dapat pekerjaan, pupus seusai test wawancara.

Gila ... aku gagal lagi ... ke mana aku harus cari kerja?

Aku mengingat kegagalan yang terjadi berulang-ulang saat test masuk kerja. Pagi tadi pun sama. Entah sudah ke-berapa kalinya aku gagal dalam satu pekan.

13.10.

Angka berwarna merah cerah yang tertera pada jam digital di dinding utama masjid. Di dalam ruangan besar ini kulihat hanya tersisa lima orang, termasuk Sang Khatib yang duduk meriung bersama jamaah lainnya di saf dekat mimbar.

Dua puluh lima menit sudah aku merebah. Aku pun segera bangun, melangkah untuk pulang.

Sepatuku mana? Perasaan tadi ada di sini?

Aku tercengang melihat sepatu milikku tidak ada di tempatnya. Saat meletakkan tadi, aku jelas mengingat, posisinya berada sejajar dengan pintu utama masjid. Aku celingukan, seraya mencari ke sudut kiri dan kanan tempat alas kaki, namun tidak juga kutemukan.

Wah, yang benar saja? Ini tempat malaikat, bukan tempat setan, masa diambil orang. Gerutu pikiranku, sambil terus mencari. Mungkin bukan diambil, tapi salah ambil.

Aku coba berprasangka baik, tetapi yang kulihat memang tidak ada alas kaki lagi, kecuali sepasang sandal jepit butut dan satu lagi sandal yang masih terlihat bagus, mungkin milik seseorang yang masih berada di dalam masjid.

Ini ... jepit butut ini. Tanganku menjinjing sandal. Aku yakin sepatuku ditukar sama sandal jepit rombeng ini. Aku nggak mau, ini bukan milikku!

Karet tipis berwarna hijau putih itu kuletakkan kembali. Bagian tumitnya membentuk cekung hebat setipis kulit bawang.

Aku segera meninggalkan area masjid. Kulihat uang di dompetku tinggal lima belas ribu rupiah untuk ongkos pulang. Mana mungkin bisa beli sandal? Kalaupun bisa untuk membeli, haruskah aku pulang dengan berjalan kaki?

Ah, persetan apa kata orang! Semua manusia pada awalnya tanpa alas kaki. Apa yang membuatku malu? Biarlah aku pulang tanpa alas kaki. Pasang muka tembok, perkara selesai.

Melenggang pelan tanpa alas kaki di jalanan kota besar, benar-benar terasa aneh. Pohon-pohon berdaun kehitaman di pinggir jalan seakan-akan malas untuk hidup lebih lama lagi. Terik matahari siang bersama udara keruh yang merambah seluruh penjuru kota, menghadiahkan kehangatan yang teramat sangat pada telapak kakiku.

Ya, Allah, mau jadi apa aku ini?

Lihat selengkapnya