MAYDARA

Rudie Chakil
Chapter #3

Apalah Aku

Itu apa?

Dan, di mana ini?

Mengapa ada warna-warna begini?

Aku bertanya padanya, ia hanya tersenyum tanpa menjawab.

Di kegelapan, aku melihat warna-warna yang saling memakan, tetapi tak dapat hilang, hingga seluruh warna yang ada mulai menyatu, menjadi sesuatu yang bersinar tanpa panas.

Aku di mana? Dan sedang apa?

Beritahukanlah aku bagaimana?

Ah, celakalah aku ....

Titik samar antara jatuh dan naik, itulah ketika aku tersadar akan sebuah pertanyaan.

"Siapakah kamu?"

"Apa yang kau sebut sebagai kehidupanmu?"

"Mengapa kamu dilahirkan dalam ruang lingkupmu?"


Pukul delapan malam aku bersantai di sofa butut abu-abu pekat, penghuni tetap ruang tamu. Mengambangkan sorot pandang pada langit-langit rumah bercorak cokelat gelap, bak tikar gulung zaman baheula yang digunakan sebagai penutup atap rumah.

Apalah yang sedang kurasa? Begitu lemah hanya karena gagal bekerja siang tadi?

Tidak! Sepertinya tidak. Ini adalah hal yang biasa. Selama aku masih mau mencoba, kegagalan dan keberhasilan adalah hal yang pasti akan menyerta. Namun, perasaan aneh apa yang sedang kurasakan ini?

Lamunanku terhenti oleh suara ibu.

“Dul?” beliau menghentikan kayuh kakinya pada mesin jahit zaman Jepang berwarna hitam bertuliskan ‘Singer’.

“Makan sana. Dari tadi kamu belum makan,” pintanya.

“Iya, Bu. Duljana belum lapar.”

Beliau berdiri, menghentikan pekerjaannya yang belum selesai, lalu mendekatiku. Gerakannya sungguh gemulai dengan daster cokelat muda kesayangannya.

“Ibu enggak pernah permasalahkan, apakah kamu dapat kerja atau enggak.” Beliau duduk di sampingku. “Coba ngomong aja sama Mas Ade. Mungkin dia bisa kasih jalan buat kamu.” Matanya lembut menatapku, namun pandangan itu yang jusru membuat aku diam.

“Gak apa-apa, Dul,” lanjut ibu. “Dulu Mas Ade pernah bilang, kalau ada apa-apa, jangan ragu ngomong sama dia.”

Ingatanku kembali pada sosok seseorang yang telah berjasa bagi keluarga, khususnya aku. Setahu aku, Mas Ade adalah orang yang sudah membiayaiku bersekolah. Sejak aku putus sekolah kelas satu SMA karena keterbatasan biaya, ia adalah orang yang bersedia mengulurkan tangan.

“Duljana segan, Bu. Enggak enak sama Mas Ade. Biar Duljana coba cari sendiri dulu,” jawabku se-kena-nya. Terasa berat di hati meminta Mas Ade untuk mengulurkan tangan lagi.

“Susah, Dul, cari kerja sekarang. Udah, enggak papa. Apa perlu ibu yang meminta?”

Aku memandang wajah ibuku. Tak tega rasa hati ini membiarkannya tetap menjahit hingga kini. Rambutnya yang ikal sebahu sudah banyak yang berganti warna. Aku ingin menggantikan posisi beliau sebagai tulang punggung keluarga.

“Duljana.”

Seseorang mengetuk pintu rumah beberapa kali, disertai suara yang tidak asing terdengar. Aku segera membukakan pintu.

“Iya, Ben, ada apa?” tanyaku, berdiri di depannya.

“Ikut gue, yuk,” ajak teman sekolah yang juga merupakan tetanggaku itu.

“Ke mana?” tanyaku sambil menggeser daun pintu.

“Udah, ayo.” Kepalanya bergeleng, setengah memaksa.

Aku pun menengok pada ibu dan meminta izin, “Bu, Duljana mau ke luar dulu, ya.”

Ibu hanya mengangguk dengan tatapannya yang penuh kasih.

Lihat selengkapnya