MAYDARA

Rudie Chakil
Chapter #4

Possessed

Rumah itu terlihat seperti rumah pejabat. Pagar tembok cokelat muda setinggi dua meter gagah membentang, dengan pintu besar yang terbuat dari besi putih mengkilap. Di belakang tembok terdapat tanaman bunga berwarna ungu muda, dan pohon-pohon ukuran sedang yang daunnya selalu dirawat. Pohon-pohon itu ditanam pada posisi yang teratur, berderet rapi bersama tanaman bunga dan sebuah ayunan besi tepat di tengah halaman.

Sungguh, sebuah beranda rumah yang sangat indah, bersama bias cahaya lampu hias di sekeliling taman. Aku tak menyangka, ternyata Keysia anak seorang kaya raya.

Kami melangkah masuk dipandu oleh Frida. Saat perjalanan tadi, ia berboncengan denganku memakai motornya. Sementara Mang Alwi duduk manis di belakang Benny, lengkap dengan jubah kebesarannya bak seorang ulama. Kami berjalan melewati sisi halaman di muka pintu utama.

Di halaman sebelah kiri rumah itu terdapat sebuah pintu pagar besi, bukan pintu utama masuk rumah. Jalannya seperti sebuah lorong besar, tetapi terang dan bersih. Beralas keramik putih pula. Lorong tersebut tertembus sampai ke belakang rumah. Terlihatlah sebuah kolam renang yang berukuran lumayan besar.

Bagian belakang rumah tersebut terdapat tempat duduk untuk bersantai. Kurang lebih jaraknya sekitar tiga meter dari tepian kolam renang. Di sana terdapat enam orang yang sedang berkumpul. Mereka menengok akan kedatangan kami.

“Assalamualaikum.” Mang Alwi mengucap salam.

“Waalaikumsalam,” mereka semua menjawab.

Seorang wanita setengah baya menyambut kedatangan Mang Alwi, diiringi oleh seorang lelaki dewasa. Aku yakin, wanita itu adalah ibunda Keysia. Tiga orang lainnya adalah dua orang perempuan remaja dan satu orang perempuan dewasa yang juga ikut berdiri menyambut. Dan, satu orang lagi yang duduk di kursi utama.

Ya. Dia adalah Keysia.

Perempuan itu duduk santai di kursi cokelat. Berpakaian kaus putih dengan celana pendek hitam, juga memakai sepatu kets putih. Pergelangan tangan kirinya ada tiga buah gelang khas anak gaul. Ia tersenyum, menatap ke depan tanpa berkedip, yakni ke arah kolam renang berair tenang. Tatapannya kosong sekaligus isi. Sesekali tawa kecil yang hampir tak terdengar keluar dari mulutnya.

Ibunda Keysia meminta Mang Alwi. Tangannya mempersilakan pria berpeci putih itu untuk melihat keadaan anaknya. Mang Alwi segera menghampiri. Aku dan Benny pun mengekor.

Keysia langsung menengok ke arah Mang Alwi.

“Apa yang membuat kamu ke sini, wahai orang yang merasa dituakan?” Satu kalimat pertanyaan keluar dari mulutnya. Gaya bicaranya mengalun indah, seperti seorang narator wanita yang sedang membaca sebaris puisi.

“Pergilah dari tubuh anak ini, hai, musuh Allah,” ujar Mang Alwi, nada menantang.

Keysia hanya tersenyum menanggapi. Tetapi senyumannya serasa meremehkan semua orang yang ada di sana.

“Bermubahalah-lah¹ denganku, jika kamu berkata bahwa aku adalah musuh Allah.” Sorot mata Keysia amat tajam pada Mang Alwi, dengan dagu yang dimajukan.

“Apakah kamu berani?” ia menantang balik. Suaranya terdengar amat jelas karena kesunyian suasana. Serasa tak ada suara-suara apa pun kecuali suara percakapan mereka berdua.

“Laknatullah! Pergi kamu dari sini!” bentak Mang Alwi. Telapak tangan kanannya didekatkan ke kepala Keysia. Perempuan remaja itu tetap tersenyum dengan pandangan kosong.

“Aku tidak ingin mengadakan peperangan denganmu. Kenapa kamu ingin mengadakan peperangan denganku, wahai Alwi Burhanuddin?”

“Hah?!” Mang Alwi amat terkejut.

Suasana semakin terasa sunyi dan senyap. Penggambarannya seperti desir dari suara angin yang bergerak pelan dalam ruangan hampa udara.

“Sekarang aku ingin kamu keluar dan tidak mengganggu anak ini. Pergilah sekarang juga dari tubuh anak ini!”

“Hahahaha,” Keysia tertawa kecil. “Kamu begitu keras, Alwi. Begitu kerasnya kamu membela semua yang kamu anggap benar,” ucapnya.

Mang Alwi langsung menempelkan telapak tangannya ke kepala gadis itu. “Bismillahir—”

“Alwi! Aku bukanlah musuh Allah seperti yang kamu kira. Kamu ingin membacakan surah An-Nas kepadaku, dan surah Al-Fatihah sebagai permulaan?” suara Keysia memotong bait suci yang dibacakan Mang Alwi.

“Ar-rahmannir-rahim ... Maliki yaumid-din ...” namun Mang Alwi tetap melafalkan surah Al-Fatihah.

“Silakan baca Kalamullah sampai selesai, Alwi, biar aku nikmati bacaanmu.” Keysia memejamkan mata sambil tetap tersenyum. Tampak benar-benar sedang menikmati lantunan ayat yang dibacakan oleh Mang Alwi.

Lihat selengkapnya