MAYDARA

Rudie Chakil
Chapter #5

Dua Pohon Kembar

Aku ingin jadi orang sukses. Tetapi, bagaimana aku bisa tahu apakah diriku mampu atau tidak, kecuali, hanya dengan mencoba dan berusaha semaksimal mungkin.

Lalu, apa yang bisa aku usahakan?

Keahlian, aku tidak punya. Keterampilan yang hebat dalam satu bidang, aku juga tidak punya. Pendidikan tinggi untuk lebih mudah mendapat pekerjaan, aku ....

Ah, cukup sudah! Potong semua alasan!

Semua yang telah diberikan ibuku sampai saat ini sudah lebih dari cukup. Berbuatlah apa yang kita bisa, apa pun yang kita bisa, dan sekarang, yang bisa kuperbuat adalah membuat lamaran sebanyak-banyaknya. Cari kerja, kerja, dan kerja.

Aduh!

Kertas folio kurang satu lembar. Map cokelat juga sudah habis. Kemarin aku hanya beli lima lembar map dan sudah terpakai semua.

Ya, Tuhan, ampuuun. Hanya dengan selembar uang lima ribu rupiah, itu pun masih lebih, aku tidak mampu membeli.

Aku bisa saja minta pada ibu. Sudah pasti beliau akan memberikan uang, terus aku ganti saat gajian nanti.

Planning … planning ...

Aduh, gila ... aku sungguh-sungguh malu. Pantangan buatku meminta uang lagi kepada ibu.

Detik ketika ijazah SMA tergeletak di tanganku, detik itulah aku enggan lagi meminta, kecuali beliau yang memberi.

Huh, bagaimana ini keadaan?

Tanganku pun menggaruk sekaligus menjambak rambut ikal dan kaku ini. Kedua kaki lurus menyelonjor ke bawah meja. Mataku hanya bisa memandang tembok ruang tamu berwarna biru muda.

Oh, iya. Semalam aku mimpi apa, ya?

Aku bertanya pada diri sendiri karena merasa mimpi itu sangat penting. Kucoba untuk mengingat, akan tetapi hasilnya nihil.

Ibu kemudian muncul dari dalam kamarnya, dan segera duduk di depanku.

“Dul, barusan ibu nanya lowongan kerja sama Bu Hajah Maimun. Di tempat anaknya ada lowongan kerja tuh. Sini, lamaran kamu ibu berikan,” ujarnya.

“Hmmm ... iya, Bu. Tapi Duljana, kan, lagi tunggu panggilan juga dari tempat lain,” jawabku, merasa tidak enak harus meminta uang untuk membuat berkas lamaran kerja.

“Udah habis ya? Bikin lagi aja, siapa tahu kali ini rejeki kamu,” pintanya.

“Iya, Bu, nanti Duljana bikin.”

Seketika itu juga terlintas dalam pikiran, tentang kejadian yang aku alami di rumah Keysia.

“Bu, kemarin malam Duljana lihat orang kesurupan.”

“Siapa?” gurat wajah ibu tampak serius.

“Temannya Benny, anak perempuan, masih sekolah. Kok anehnya dia bisa tahu banyak hal ya, Bu?” ibu hanya diam menyimak. “Ketika dibacakan surat Al-Fatihah sama gurunya Benny, masa anak yang kesurupan itu malahan tertawa.”

“Dul, kamu jangan main-main sama hal kayak gitu, ah!” hardiknya.

“Siapa yang main-main, sih, Bu? Duljana, kan, cuma cerita,” tukasku. Ibu memang cepat khawatir, apabila ada kabar yang menurutnya negatif. Apalagi jika itu berhubungan dengan diriku.

Beliau kemudian menggeser badan ke depan. “Terus gimana? Anaknya udah sembuh?” tanyanya dengan pandang yang masih gamang.

“Belum, Bu.” Aku menggeleng. “Enggak tahu juga, bisa sembuh apa enggak.”

“Memang awalnya gimana, sih, bisa kesurupan gitu?”

“Duljana gak tahu, Bu. Tapi, sekitar tiga bulan yang lalu, Duljana sama Benny pernah lihat anak itu jalan malam-malam.”

“Hmmm ... memang dia anak daerah sini?”

“Bukan, Bu, anak jauh, ibu enggak tahu rumahnya,”kataku. Beliau hanya mengangguk-angguk, tapi sebentar kemudian beliau kembali bersemangat.

“Oh, iya, Dul,” mata beliau tampak menatap dalam. Nada suaranya seperti orang yang teringat akan sesuatu.

“Mas Ade juga bisa ilmu-ilmu kayak gitu,” kata beliau dengan tangan kanan menepuk gagang kursi.

“Mas Ade lagi? Mau minta lowongan kerja?” balasku.

“Eh, serius, Dul! Mas Ade itu orang ngerti juga, enggak percaya kamu.” Gaya bicara ibu seakan-akan memaksa aku untuk percaya. Aku hanya diam, dan jelas tidak percaya.

Mas Ade itu orang kaya. Dahulu, dia sering memberi uang pada kami setiap bulan sekali. Mobilnya Mitsubishi Pajero warna putih. Bagaimana dia bisa menyembuhkan orang kesurupan?

“Sini handphone kamu, Ibu mau telepon Mas Ade.” Tangan ibu terulur.

“Pulsanya habis, Bu. Tinggal seribu lima ratus perak, hehehe.” Aku memasang tatapan melas.

“Nih, beli dulu.” Ibu memberikan uang dua puluh ribu rupiah. Aku pun beranjak ke warung pulsa terdekat.

Selesai membeli pulsa, dalam perjalanan pulang, Benny memanggil dan memintaku untuk tidak ke mana-mana. Kata dia Frida akan datang ke rumahku. Aku hanya mengiyakan saja, lalu kembali melangkah pulang.

Lihat selengkapnya