MAYDARA

Rudie Chakil
Chapter #6

Suhu Berlawanan

Tidak biasanya aku ingin memejamkan mata di waktu menjelang malam. Selepas Magrib tadi badanku tiba-tiba menjadi sangat lelah disertai rasa pening yang berputar hebat di kepala. Kelopak mata terasa berat, dengan arah pandang seperti lampu minyak yang berusaha menerangi gelapnya malam.

Pandang mataku nanar, melihat jarum jam dinding yang bergerak pelan menunjukan pukul 20.30. Waktu yang aku anggap masih sore, sebab terbiasa tidur hingga larut malam, bahkan menjelang pagi.

Sepertinya aku demam. Aku harus beli obat.

Aku memaksa bangun, untuk membeli obat di warung yang berjarak sekitar lima puluh meter dari rumah. Ketika berdiri, tubuhku terasa limbung. Pun saat berada di muka pintu kamar, kepalaku amat pening dengan rasa agak mual. Otot-otot tangan, leher, punggung, pinggang dan kaki mulai menggeram. Seluruh anggota tubuhku komplain.

Demam ini sungguhan!

Ibu melihatku terhuyung sambil memegang sisi pintu kamar, “Kamu kenapa, Dul?” tanyanya.

“Kayaknya Duljana demam, Bu. Minta uang, Bu, untuk beli obat,” pintaku. Tangannya langsung merogoh kantung dan memberikan uang sepuluh ribu rupiah.

“Kamu bisa gak, Dul? Sini ibu aja yang beli,” tatapnya seperti cermin dari sifat peduli dan khawatir.

“Gak papa, Bu,” gumamku.

Sakit ini membawa efek yang sangat tidak enak. Penerangan ruang tamu menjadi terlihat asing. Sinarnya terbias berbayang, seperti ada asap tebal menyelimuti pinggiran bohlam kuning yang menggantung di langit-langit rumah. Belum pernah aku merasakan kondisi badan setidaknormal ini.

Sejenak aku mengatur napas, memandangi pajangan keramik dengan figur kakek-nenek di atas lemari datar, di samping kursi ruang tamu. Kulihat banyak asap putih kekuningan di sekitar pajangan, di jendela, di kursi, bahkan memenuhi seluruh ruang tamu.

Dari mana asap ini?

Tidak tahan dengan rasa nyeri yang terasa menusuk daging, aku segera melangkah keluar untuk membeli obat.

Asap tebal ternyata tidak hanya terlihat di dalam rumah saja. Di luar rumah pun asap seperti kabut ini tampak terlihat. Di sekitar jalan, di rumah-rumah tetangga, dan menjadi lebih tampak pada lampu-lampu penerangan jalan.

Aku tak mau mengurus tentang asap. Mungkin karena kondisi badanku sedang tidak sehat, maka kabut seperti ini seolah-olah tampak, padahal sesungguhnya tidak ada, melainkan ilusi dalam kepalaku saja. Sungguh, aku mengalami demam yang cukup serius.

Tapi ... ini terlihat sangat jelas.

Ah, biar saja. Aku tak peduli. Sekarang yang terpenting adalah minum obat dan beristirahat lelap.

Setelah meminum obat, aku merasakan kantuk yang tiada terhingga. Membawa seluruh tubuhku merebah tak bertenaga dalam pangkuan tempat tidur.

Yaa Tuhan ....

Aku menyaksikan peperangan yang melibatkan dua kubu layaknya perang Bharatayudha. Sebuah pertempuran besar yang benar-benar tampak nyata, di mana kedua kubu begitu beringas untuk saling membunuh dan menghancurkan.

Detak jam dinding terdengar lebih keras dari biasanya. Keheningan pukul 02.35 dini hari membuat suara detiknya begitu jelas. Tetes-tetes keringat terasa menjalar dari dahi, mengalir ke pipi sebelah kiri. Tatap mataku tertuju pada sebuah pandang kosong. Merasa heran serta takut karena gambaran mimpi yang baru saja kurasakan.

Mereka bukan manusia ... makhluk apa yang sedang berperang itu?

Makhluk-makhluk yang belum pernah kulihat, bahkan terbayang pun tidak. Bertubuh besar dengan warna pekat dan gelap. Pula sangat menyeramkan ketimbang makhluk jenis apa pun yang pernah kulihat.

Lihat selengkapnya