MAYDARA

Rudie Chakil
Chapter #7

Di Antara Dua Alam

Pada keesokan harinya, kondisi badanku sudah menjadi lebih baik. Hanya flu dan batuk yang masih tertinggal, juga rasa pening yang belum seutuhnya hilang. Rasanya seperti mabuk minuman keras semalaman, lalu kurang tidur dan terbangun di pagi hari. Maksudku, bukanlah tentang perkara 'mabuknya'. Tetapi kesamaan dari gelombang otak yang tengah kurasakan. Rasa pening yang sedikit berputar di kepala. Benar-benar masih terasa kliyengan.

Pandanganku lalu tertuju pada jarum jam dinding yang bergerak perlahan. Saat ini pukul 20.05, aku sedang melamun di kursi ruang tamu. Seharian tadi, sejengkal pun aku tidak keluar rumah. Kakiku juga terasa berat untuk pelesiran, walau malam ini adalah malam Minggu. Ibu baru saja keluar. Beliau diminta mengunjungi seorang tetangga untuk urusan busana.

Seperti jiwa-jiwa yang sedang kehausan, resah sungguh menyiksaku. Selalu pertanyaan itu terulang kembali dalam benakku; Mau jadi apa diriku ini?

Jujur saja, ego-ku sungguh besar, meski kadang tertutup oleh kepribadianku yang agak pendiam. Aku amat sadar akan hal ini. Benarlah sebuah artikel yang pernah kubaca. Bahwa orang-orang yang pendiam itu sebenarnya lebih banyak bicara daripada sang pembual di muka umum. Hanya saja mereka berbicara pada dirinya sendiri.

Teh manis pun aku teguk, sambil menaikkan satu kaki ke atas kursi. Pikiranku mengambang lagi.

Seharusnya aku bisa menjadi orang yang bersyukur. Bukan malah menindas jiwaku sendiri dengan berbagai kecamuk yang ada dalam hati. Bukankah jika kita bisa bersyukur, maka pasti akan ditambahkan nikmat-Nya?

Aku butuh kebebasan. Tetapi aku tidak pernah tahu, kebebasan seperti apa yang aku maksud?

Jawablah dengan jujur, pekerjaan apakah yang kamu inginkan?

Bilamana keinginanmu terpenuhi semua? Apakah lantas kamu merasa puas?

Sudahlah, Duljana. Ikuti saja ke mana takdir akan membawamu.

Ya, itulah diriku. Bertanya, menjawab, beralibi, dan menggerutu pada diri sendiri.

Seekor kucing betina berwarna oranye tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Kebetulan pintu rumah kubuka setengah. Aku memperhatikan jalannya yang memindik perlahan menuju dapur. Melihat itu, aku pun beranjak dari posisi duduk untuk mengusirnya.

“Huss,” tanganku menampik udara. Kucing itu cepat berbalik badan dan hendak berlari keluar. Namun.

“Ssssssss... Zzzzzzz....”

“............”

Langkah kaki hewan berkaki empat itu berhenti sepersekian detik. Jam dinding juga berhenti berdetak sepersekian detik. Suara-suara yang ada di sekitar, angin, gerak, dan keadaan apa pun, seolah-olah terjeda, tertuju pada satu titik kosong.

Aku merasakan semua yang ada, diam dalam satu waktu yang sangat cepat. Segala sesuatunya berhenti total! Tidak sampai satu detik, lalu semuanya kembali, berjalan normal seperti sediakala. Termasuk kucing oranye yang berlari keluar rumah.

Aku tahu hal ini tak akan pernah mungkin terjadi. Tetapi ... aku sungguh merasakan.

Yaa Tuhan, kejadian aneh apalagi ini? Kenapa bisa begini?

Apakah ada yang salah dengan sakitku?

Ada yang salah dengan diriku?

Aku kembali duduk di tempat semula, namun perasaan baru tiba-tiba hadir. Aku merasa akan terjadi apa-apa pada diriku. Rasa gelisah, cemas dan takut merasuk pada aliran darahku. Datang tanpa diundang. Bagai tertodong oleh anak panah tak terlihat, yang akan segera menghunus tepat padaku. Atau seperti ada tangan tak terlihat, yang siap mencekik leherku dari belakang.

Detik itu juga terlintas ingatan tentang kejadian kemarin, tentang makhluk halus yang merasuki tubuh Keysia, tentang mimpi, dan tentang seberkas sinar yang berubah wujud menjadi seorang tua.

Ya ... seorang tua bangka.

Kini, dia ada, sekarang.

Lihat selengkapnya