MAYDARA

Rudie Chakil
Chapter #8

Kebutuhan Vs Keinginan

Ketika masih bersekolah, hari Minggu adalah hari teristimewa bagiku. Ah, mungkin bukan hanya bagiku saja, tapi juga bagi semua siswa siswi seseantero Indonesia.

Apalagi yang diistimewakan jika bukan karena hari libur?

Tetapi saat ini, sama saja bagiku. Setiap hari yang terlewat bagaikan hari Minggu bagi anak sekolah. Selama ibu tidak memintaku untuk melakukan sesuatu, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan kecuali menjalani hidup laksana seorang raja. Tetapi sosok raja yang amat miskin.

Hanya tanggung jawab yang menjadi pembeda, di saat aku masih berseragam sekolah dengan saat ini. Sekarang ini aku punya tanggung jawab, minimal terhadap diriku sendiri. Aku merasa malu pada ibu, walau baru hitungan bulan aku lulus sekolah dan menganggur.

Siang ini terik matahari begitu panas menyengat. Langit bagai kristal kaca maha besar yang seakan hendak retak karena tak kuasa memayungi bumi. Aku sedang duduk sendiri di balai-balai halaman rumah dan bernaung pada pohon mangga. Hanya ditemani oleh sapaan para tetangga, bersama semilir angin yang sesekali lewat.

‘Arya, lagi apa? Sibuk gak?’

Sebuah SMS diterima ponselku, tepat jam dua siang. ‘Frida’. Terdapat pesan tambahan berupa keterangan. Aku pun mengerutkan dahi.

Dari mana dia tahu nomorku? Jangan-jangan dari Jin Keysia?

Dugaanku jadi terus mengarah ke arah sana, sebab rentetan kejadian yang aku alami kemarin-kemarin. Ah, tidak mungkin!

‘Lagi nunggu kamu, eh, tamu. Hehehe’. Kubalas pesan darinya.

Nih anak, acara pake manggil gue Arya lagi, dah tahu nama gue cuma Duljana. Gerutuku sendiri.

“Dul,” panggil ibuku, berdiri tepat di muka pintu, “Kamu udah salat belum?” tanyanya, bersamaan dengan tengokan-ku ke arahnya.

“Udah, Bu,” jawabku.

“Pasangin dinamo mesin jahit, dong. Ibu udah beli tuh dinamonya,” kepalanya mengeleng, tanda meminta dengan segera. Tangan kanan ibu memegang sisi pintu yang terbuka lebar.

“Yah ... Mas Ade kan mau ke sini, Bu.”

“Oh, iya. Ya udah besok aja yah,” ucap ibu. “Kayaknya Mas Ade sebentar lagi datang. Ibu mau beli gado-gado dulu,” sambungnya, seraya menuruni undakan rumah yang hanya berjumlah tiga undakan, terbuat dari kayu.

“Iya Bu.” Beliau pun berlalu.

Tak lama setelah itu, sebuah motor Vespa mendarat mulus di halaman rumah, tempat aku bermain kelereng saat masih kecil. Area tanah seluas lima belas meter persegi yang merupakan beranda rumah.

Mesin motor dua tak itu pun langsung dimatikan di antara pohon mangga dan balai-balai yang sedang aku duduki.

“Assalammualaikum,” suara berat datar keluar dari mulut pengemudinya. Dia memakai helm cetok cokelat khas pemotor Vespa. Berjaket hitam dengan celana Levis hitam.

“Waalaikumsalam.” Aku segera berdiri, tersenyum, kemudian mendekatinya.

“Mas Ade,” sapaku.

Ia lalu membuka helm dan jaket, meletakkannya di atas setang motor Vespa, kemudian tersenyum padaku sambil mengulurkan tangan.

Aku menggapai tangannya, hendak mencium punggung tangannya, tetapi langsung dilepas olehnya. Biar bagaimanapun, aku merasa dia berusia lebih tua dariku, serta sudah kuanggap seperti kakak sendiri.

“Apa kabar, Dul?” tanyanya, bernada hangat.

“Alhamdulillah, baik, Mas,” jawabku, “Mari masuk, Mas.” Ia kemudian masuk, duduk di ruang tamu.

Aku mengambil minum di dapur, lmeletakkan botol air dingin dan dua buah gelas ke meja. “Minum, Mas,” aku pun menawarkan. Ia menganguk ramah.

Lihat selengkapnya