MAYDARA

Rudie Chakil
Chapter #10

Waktu Sandikala

Pukul 17.35, aku diminta oleh ibu ke rumah salah seorang pelanggan untuk mengantar busana yang telah selesai dikerjakan. Jarak rumahnya dengan rumahku sekitar lima ratus meter. Dalam perjalanan pulang, aku melihat langit yang tampak berwarna kuning. Sangat kuning.

Aku heran, sejak kapan saat-saat menjelang Magrib bisa sekuning ini?

Bicaraku pada diri sendiri tak pernah berhenti, di mana pun dan kapan pun. Itulah mungkin yang dimaksud oleh Mas Ade, bahwa setiap manusia mempunyai dua sisi dalam dirinya. Mungkin sisi batinku sedang berdiskusi dengan sisi lahirku, untuk satu mufakat yang terbaik bagi diri ini.

Ah, kalau aku pribadi tidak selalu berdiskusi, karena lebih seringnya berdebat.

Karena itulah aku seringkali menimbang-nimbang buah pikiran, meski mata ini tengah memandang obyek yang sedang kupandang, dan kaki ini sedang melangkah ke mana pun —saat ini sedang menuju rumah.

Sisi lahirku berkata; Aku mau ganti handphone. Sedang sisi batinku menimpali; Gunakan uang ini untuk cari kerja.

Sisi lahirku bergumam; Mau jadi apa diriku nanti? Dan sisi batinku menyahut; Jalani saja hidup ini, mengalir seperti air di atas laju sungai.

Saat hampir sampai di rumah, aku memandang langit, melihat segumpal awan membentuk garis horizontal. Awan berwarna abu-abu pekat yang terlihat datar memanjang, seolah-olah turun mendekat pada bumi bagian timur. Aku merasa seperti ada kehidupan selain manusia yang berkecimpung di atasnya. Dunia tak terlihat yang bersimbah peluh kemilau cahaya sewarna limun. Aku hanya tersenyum memandangi fenomena yang tak lazim itu.

Tiba-tiba aku melihat Benny keluar dari warung di depan jalan, dan melangkah berlawanan arah denganku.

“Ben,” aku menyapa ketika berpapasan dengannya. Ia sempat melihatku, tetapi pandangannya langsung diarahkan ke tanah. Boro-boro untuk menjawab, menengok pun tidak. Aku tidak heran, hanya bertanya-tanya sendiri.

Apa dia marah padaku? Salahku apa?

Memang semenjak kejadian di rumah Keysia, Benny mulai bersikap lain.

Ah, persetan. Rasa heranku tidak berlangsung lama. Aku adalah sepatu dan dia adalah kaos kaki. Aku amat mengerti seperti apa temanku yang satu ini.

Aku pun melanjutkan langkah menuju rumah.

“Dul, kalo mau makan, kamu bikin mie aja yah. Ibu enggak sempat masak.” Ibu berkata dari dalam kamarnya yang terbuka. Aku berdiri di depan pintu dengan handuk yang menempel di bahu kiri.

“Tenang aja, Bu. Duljana punya uang, kok,” jawabku, seraya mengambil pakaian yang baru saja disetrika olehnya.

“Iya, iya, tahu,” sindirnya menyenangkan, “Belagu!”

“Hehehe,” aku bergegas ke kamar mandi. Saklar lampu kamar mandi kutekan, sembari berdoa.

Iya, yah, harusnya tadi sekalian beli lampu yang baru, yang lebih terang.

Aku merasa penerangan kamar mandi kurang maksimal. Mumpung aku punya uang, bohlam kuning lima watt ini lebih baik diganti dengan yang baru, karena memang terlihat suram.

Ya sudah nanti aja. Aku pun membuka pakaian.

Semua orang pasti tahu, yang namanya aktivitas mandi memakai gayung itu seperti apa? Air yang terguyur pasti melewati kepala terlebih dahulu sebelum turun membasahi seluruh tubuh. Dan bilamana kelopak mata tetap terbuka, air yang tumpah dari gayung pasti akan menyamarkan pandangan yang ada di depan mata.

Byur ... byuurr ... byuurr.

Guyuran ketiga saat aku sedang mandi, aku melihat sesosok bayang seperti seseorang yang tampak di sudut kamar mandi. Samar-samar terlihat sebab tertutup air yang jatuh di depan wajah.

“Hah!” aku langsung membasuh muka dan berkedip beberapa kali. Tetapi yang tampak hanya tembok dengan rak kecil beserta peralatan mandi yang tergantung. Padahal, sungguh, tadi terlihat ada seseorang yang berdiri tepat di depanku.

Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku kembali menciduk air dari dalam bak mandi, dan mulai mengguyur lagi.

Byuurr ....

Lihat selengkapnya