MAYDARA

Rudie Chakil
Chapter #11

Atas Nama Pekerjaan

Mesin mobil dimatikan tepat di depan gerbang rumah Keysia. Dalam perjalanan tadi, tiada obrolan yang terucap, hanya keheningan dalam pikiran masing-masing yang hinggap mengisi perjalanan.

Aku menderu kagum, betapa nyaman duduk di dalam mobil ini. Mobil keluarga yang dikendarai oleh seorang lelaki berusia kisaran lima puluh tahun. Aku duduk paling belakang. Ibu Rika dan Frida duduk di tengah.

Kami semua pun segera turun.

Pintu gerbang berwarna hitam setinggi hampir dua kali badanku itu dibuka oleh lelaki yang sepertinya adalah supir dari keluarga Keysia. Seperti biasa, aku berjalan paling belakang.

Apa yang harus aku lakukan? Orang takut kok malahan diajak?

Di tengah-tengah halaman, dalam bias cahaya lampu taman, di atas sebuah ayunan, seorang perempuan terlihat dari belakang. Duduk sendirian di bangku ayunan yang bisa dinaiki oleh dua orang secara berhadapan. Aku amat yakin, perempuan itu adalah Keysia, walaupun hanya terlihat baju putih dengan rambutnya yang bergelombang di ujung.

Dia duduk menghadap ke arah timur, membelakangi jalan utama masuk rumah.

Ibu Rika yang berjalan paling depan segera menghampirinya, diiringi oleh Frida dari sebelah kanan. Aku juga ikut, tetapi agak ke belakang, jarak tiga langkah kaki orang dewasa di belakang langkah mereka.

Tiba-tiba Keysia mendongakkan kepala ke langit.

“Kuu, sudaah ngantuuk ... kuingiin tiiduuur ... sudah malaaaam.” Suaranya terdengar sayu.

Ah, aku tahu. Ini adalah lirik lagu grup band Cokelat.

Suara Keysia benar-benar seperti Kikan, sang vokalis Cokelat. Dia duduk santai sambil menembangkan lagu ‘Bunga tidur.’

Tuhan. Betapa mengerikannya gadis ini.

Keysia menengok dengan gerakan lambat pada ibunya. Gerakan kepalanya begitu gemulai seperti penari Bali.

“Kamu sudah membawa Arya ke sini, Ibu Rikaa. Padahal yang kuminta untuk datang adalah suamimuu. Ke mana suamimu, Ibu Rikaa?” mata Keysia menatap tajam pada ibunya yang berdiri di sisi ayunan.

“Aku tidak tahu.” Suara Ibu Rika bernada lemas. “Keysia, sadarlah Naaakk,” rintih wanita itu.

“Yang tidak sadar itu adalah suamimu, Rikaa. Suamimu adalah seburuk-buruknya manusia. Dia lebih rendah daripada binatang.” Kepalanya kembali menghadap ke depan.

Tangan kanan Ibu Rika memegang erat pipa besi ayunan. “Kamu! Apa yang kamu inginkan dari kami?” Ibu Rika mulai sesenggukan.

“Tidak usah menangis, Ibu Rikaaa. Kamu tak pernah tahu, bagaimana perlakuan suamimu terhadap istrinya sebelum kamu? Kamu tak pernah tahu, bagaimana dia berdusta setiap hari di kantornya? Dan kamu tidak pernah tahu, dosa besar apa yang pernah dia lakukan pada seseorang,” ucap Keysia lantang. Ibu Rika sesenggukan menahan tangis.

“Lalu, sampai kapan kamu mau mengganggu anak saya?” balas wanita berhidung mancung itu. “Apa kamu ada yang mengirim, untuk menghancurkan hidup saya?” rintihnya.

Aku tidak tahan. Hatiku sungguh tergugah. Aku tidak pernah tahu, apa latar belakang dari peristiwa ini. Tapi aku merasa sangat kasihan pada Ibu Rika. Aku harus memberanikan diri. Bagaimanapun juga, makhluk ini harus keluar dari tubuh Keysia. Aku harus angkat bicara.

“Ibu Rika, lihatlah ini,” tiba-tiba Keysia lebih dahulu bicara sebelum aku sempat membuka mulut. Tangannya mengulur ke depan, ke arah lampu hias taman. Lampu hias setinggi satu meter yang ada tutup kaca berbentuk bulat. Berjarak dua meter dari sebelah kanan ayunan.

Jari-jari tangan Keysia terbuka lebar, seperti seseorang yang sedang menggapai sesuatu di depannya.

Perlahan-lahan lampu hias tersebut mulai meredup dan semakin meredup. Oh, tidak, bukan hanya lampu hias itu, tetapi semua penerangan yang ada di rumah besar ini semuanya meredup. Seperti ketiadaan listrik yang diambil secara paksa.

Praakkk...!!

Terdengar suara pecah dari bohlam di dalam lampu hias yang dimaksud oleh Keysia.

Lihat selengkapnya