Bekerja di rumah Keysia bagiku adalah pekerjaan terbaik, yang tentu saja diminati oleh seseorang yang bergelar ‘pemalas’.
Bayangkan ... sedari pagi aku tidak melakukan apa-apa. Hanya mencuci motor inventarisku dan dua motor lainnya. Sebagian besar waktuku hanya duduk-duduk menemani Mbak Tri yang sedang beraktivitas. Makan dan minum juga sudah disediakan oleh Mbak Tri.
Pagi hari tadi sebelum pergi, Ibu Rika berkata bahwa ia akan memperkerjakanku dengan pendapatan setara UMP dari pemerintah, di kota Jakarta. Mencari di mana lagi pekerjaan seperti ini kalau bukan Tuhan yang memberikan kesempatan ini?
Ah, tidak. Tidak!
Pikiranku masih waras. Aku masih memikirkan masa depanku nanti. Bagaimana jika aku terus bekerja di rumah ini, dengan posisi seperti ini?
Sekiranya hari esok ada test panggilan kerja dari lamaran yang sudah kulampirkan, aku pasti akan mencoba di tempat lain. Sudah kutanamkan dalam hati, bila aku ingin bekerja di suatu perusahaan atau di pabrik-pabrik saja, seperti kebanyakan orang.
Tetapi ...
Bagaimana jika Keysia tiba-tiba jatuh cinta padaku? Seperti kisah dua inshan di dalam film FTV.
Hahaha. Khayalan nakalku datang di akhir lamunan.
Siang hari pukul 13.30, aku memangkas rumput di halaman depan. Sebenarnya rumput yang sedang kupangkas ini belumlah terlalu tinggi. Namun ini lebih baik kulakukan, ketimbang aku tidak melakukan apa-apa.
Ketika sedang enak-enaknya memangkas rumput, aku dikejutkan oleh suara keras sebuah benda yang dilemparkan ke tembok, persis di belakangku. Ketika aku menengok, ternyata benda itu adalah sebuah ember plastik.
“Hahahahaha.”
Aku melihat Keysia dan Frida terpingkal-pingkal sampai membungkuk dan menutup mulut. Keduanya masih mengenakan seragam sekolah, melangkah ke arahku sambil tertawa geli.
“May, May, iseng aja lo jadi orang,” kata Frida saat tawanya mulai terhenti. Sementara Keysia masih menahan sisa tawa. Tangannya membawa jinjingan berupa plastik kecil.
“Duljana ekspresi kagetnya lucu banget. Lo emang introvert yang unik, Duljana.” Gadis cantik itu tertawa lagi.
“Udah, ah, May, enggak bagus ngetawain orang,” gumam Frida.
Keysia langsung mengisi mulutnya dengan udara, lalu menutup mulut dengan kedua tangannya, “Lupa, dia saudara lo yah.”
“Bukan soal itu,” perempuan langsing berkulit kuning langsat itu mengerutkan dahi.
“Nih, Duljana,” Keysia mengulurkan tangan, memberikan plastik kresek di tangannya.
“Apa nih?” tanyaku seraya menerima.
“Goreng-gorengan,” jawabnya. Mata sipitnya kala tersadar membuatku ingin terus melihatnya.
“Iya nanti saya makan, tangan saya lagi kotor,” kataku sambil memberikan kembali plastik kresek itu.
“Ya udah cuci tangan dulu sana.” Keysia berbalik badan, menuju ke teras rumah. Frida mengikut.
Aku kembali melanjutkan potong rumput, sambil sesekali melirik pada dua dara berparas cantik yang berbincang hangat di kursi teras. Suara mereka terdengar, tetapi tidak jelas, apa yang sedang mereka bicarakan. Suara Keysia agak cempreng, seperti suara anak kecil. Sedangkan suara Frida datar, seperti suara perempuan dewasa.
Ah, Frida melepas kerudung putihnya. Rambutnya tampak lurus sebahu.
“Dul.” Frida memanggilku saat aku memangkas rumput yang berada di area dekat mereka duduk. Mungkin sudah sekitar satu jam, sejak mereka berbincang di sana.
“Apa?” aku berdiri.