Di kala masih kanak-kanak, pernahkah kamu mengagumi seorang perempuan cantik, yang usianya berada di atasmu? Entah dia adalah seorang teman kakakmu, kakak dari temanmu, kerabat dari orang tuamu, kakak sepupu, tetangga, kakak kelas, seseorang yang baru kamu temui, atau mungkin kakak kandungmu sendiri?
Bilamana dirimu pernah merasakan hal seperti demikian. Itulah yang aku rasakan saat pertama kali melihat pacarnya Mas Ade.
Selepas waktu Magrib, saat aku sedang menulis surat lamaran kerja di kamar, aku mendengar suara percakapan dari ruang tamu. Suara ibu yang sedang berbincang dengan seseorang.
Aku pun segera merapikan berkas lamaran dan bergerak menuju asal suara. Ternyata Mas Ade sedang bertegur-sapa dengan ibu.
“Dul,” panggilnya, berlanjut dengan tangan kami yang saling menjabat.
“Kopi yaa, Mas?” aku menawarkan minuman klasik penghangat perbincangan. Mas Ade mengangguk. “Tolong bikin dua gelas, ya, Dul,” pinta lelaki berkemeja hitam itu.
Aku terdiam sesaat. “Oke, Mas.” Lalu bergerak menuju dapur tanpa banyak bertanya lagi.
Tak lama kemudian aku kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi dua cangkir kopi panas.
“Saya sudah kerja, Mas,” ucapku setelah duduk di sebelah ibu yang sudah bergeser lebih ke kiri kursi.
Mas Ade tersenyum, kemudian berkata pelan, “Alhamdulillah.”
Sikapnya yang santai mungkin sudah menjadi pembawaan dirinya kala bercengkrama dengan siapa pun.
“Tapi jadi pembantu, Mas. Di rumah yang kemarin ada anak kesurupan itu,” sambungku.
“Lho?” Mas Ade mengerutkan dahi.
“Iya, Mas, ibunya meminta saya untuk kerja di rumahnya.”
“Ohh, iya gak masalah.” Pemuda berkaos hitam itu mengangguk-angguk.
“Kemarin ada hal aneh yang nggak masuk akal, Mas. Masa jin yang membuat anak itu kesurupan, bisa memecahkan bohlam lampu taman. Terus bisa mengangkat lantai keramik dari jarak sekitar tiga meter. Ini hal yang di luar logika, Mas. Apakah jin bisa se-sakti itu?”
“Yang bener kamu, Dul?” ibu nyeletuk dengan pertanyaan. Aku pun menengok.
“Buat apa Duljana cerita, Bu, kalau enggak benar,” jawabku.
“Hmm ... yah, mungkin, bisa. Itu buktinya kamu lihat, 'kan?” Mas Ade mengambil cangkir kopi. “Setahu saya, orang-orang yang kesurupan itu adalah orang yang pikirannya tertekan. Anak itu pikirannya tertekan enggak?” lanjutnya, berakhir pertanyaan.
“Ah, kayaknya enggak, Mas,” benakku terbayang sosok Keysia yang berkepribadian supel dan ceria seperti anak-anak.
“Memang sejauh apa kamu tahu tentang anak itu?” Mas Ade membakar sebatang rokok, lalu menghembuskannya.
“Kemarin saya sempat kenalan, Mas, waktu anak itu sadar. Kayaknya gak ada tuh, tanda-tanda dia tertekan,” jawabku.
“Oh,” laki-laki berhidung mancung itu mengambangkan tatapan matanya. “Iya ... saya kurang paham juga, sih, sama urusan seperti ini,” ujarnya, lalu terdiam.
Menilik dari jawaban Mas Ade, aku makin sangsi sama pernyataan ibu yang bilang kalau pemuda itu adalah seseorang yang mengerti akan hal-hal yang bersifat gaib.
Mas Ade tampak begitu menikmati kopi, kemudian menengok padaku. “Coba nanti kamu ngomong sama pacar saya yah, Dul,” ucapnya dengan gaya meyakinkan.
“Mas Ade ke sini sama pacarnya?” tanyaku. “Hehehe, pantas minta minuman dua gelas.”
Dia mengangguk. “Nanti cerita aja sama dia. Dia sedikit paham urusan seperti ini.” Nada bicara Mas Ade menjadi serius, sambil membuang abu rokok di asbak.
“Mana pacarnya, Mas?” tanyaku kembali.