“Namanya Keysia Maydara, Mbak.”
Aku memperhatikan wajah Mbak Aida. Ah, di atas bibir seksinya tumbuh kumis tipis yang terjejer halus. Mas Ade benar-benar hebat soal wanita. Tak berdusta dia tadi memberikan caranya kepadaku.
“Anaknya cakep ya? Matanya sipit.” Sorot pandang Mbak Aida menghunjam pada mataku.
“Iya, Mbak, benar.” Aku tersenyum heran. Seketika tubuhku merinding. Bagaimana bisa, Mbak Aida tahu tentang perawakan Keysia? Mbak Aida punya ilmu yang lebih gila.
“Ini kopi punya siapa?” tangan perempuan berkulit kencang itu menunjuk cangkir di meja.
“Iya, itu punya kamu.” Mas Ade menimpali. Mbak Aida meminum dengan gaya yang anggun.
Suara Mbak Aida pun adalah jenis suara yang tidak lepas. Suaranya terdengar agak serak, seperti tertahan di kerongkongan. Sungguh hal itu merupakan anugerah dari Tuhan, sebab terasa sangat cocok dengan gestur fisiknya, yang pas bagi siapa pun yang melihat dan mendengar ia bicara.
“Enggak usah kaget, Dul, sama keanehan yang terjadi saat seseorang kerasukan. Keanehan yang kamu lihat itu terasa aneh, karena kamu memandang dari dunia manusia. Kalau kamu lihat pakai kacamata batin, kejadian seperti itu gak aneh kok. Banyak orang yang keliru, dan bilang, kalau jin itu sakti. Padahal enggak gitu,” ucap Mbak Aida. Aku terpana dengan penuturannya yang lembut dan perlahan. Hal yang amat tidak selaras antara latar belakang dan penampilan dengan pemahamannya tentang dunia gaib.
“Iya, Mbak. Saya sungguh heran, dia bisa memecahkan bohlam dan merusak lantai tanpa menyentuh,” kataku dengan riuh.
“Iya,” ucapnya seraya mengangguk.
“Jin itu hanya bisa membaca pikiran seseorang. Tapi enggak bisa baca isi hati seseorang. Anak itu sepertinya tergolong anak indigo. Anaknya cerdas, yaa?” Mbak Aida melanjutkan perkataannya. Aku hanya mengangguk-angguk.
“Iya benar, Mbak, anaknya cerdas. Memang indigo itu apa yah, Mbak?”
“Anak indigo itu identik dengan hal-hal yang bersifat alam gaib. Padahal siapa yang tahu benar dan salahnya hal gaib. Orang yang jelas kelihatan mata aja kita masih luput, kan? Masih suka salah?” jawabnya. Aku, ibu, dan Mas Ade hanya diam menyimak.
“Apalagi sama hal gaib,” lanjut mbak Aida.
Perempuan muda itu lalu menyeruput kopi dan meletakkannya kembali. “Kita gak akan bisa mengalahkan seseorang, sebelum tahu, kelemahan orang itu apa? Kalau kamu tahu rumahnya, ayo antarkan saya ke sana,” sambungnya.
“Enggak ngerepotin, Mbak?” aku menjawab cepat.
“Kan, aku yang ngajak.” Ia menatap dalam padaku. Sumpah mati, seandainya perempuan ini bukan pacarnya Mas Ade. Aku pasti mencantumkan namanya dalam daftar perempuan yang aku cinta.
“Mau ke sana?” Mas Ade tiba-tiba bertanya dengan memajukan sedikit badan. “Jangan ... enggak usah,” sambungnya.
“Kenapa, Ra? Kamu gak kayak biasanya?” Mbak Aida menghadapkan badannya pada Mas Ade. Terjadilah perbincangan mereka berdua.
“Biarlah keluarganya sendiri yang menyelesaikan urusannya.”
“Lho. Mereka juga sudah berusaha, kok. Kenapa kita enggak mencoba menolong?”
“Biarlah mereka menolong dirinya sendiri.”
“Itu anak kasihan, Ara. Gimana dia bisa menolong dirinya sendiri?”
“Bukankah semua keluarganya masih lengkap? Ngapain kita harus ikut campur urusan mereka.”
“Beri aku waktu setengah jam aja, Ara. Aku hanya kasihan sama anak itu.”
“Enggak! Kamu di sini aja.”
“Ara ... kamu tahu niatku hanya untuk menolong dia?”
“Dua langkah kamu meninggalkan rumah ini, aku pulang sendiri.” Mas Ade berkata dengan nada serius. Mbak Aida mengembuskan napas panjang dan terdiam.
Ada sesuatu yang ganjil dengan Mbak Aida. Aku merasa sosoknya menjadi tidak asing. Seperti sudah pernah mengenalnya, namun entah di mana. Tetapi, tidak mungkin juga. Ah, mungkin hanya perasaanku saja.
“Ya udah, Dul, enggak jadi. Gak boleh sih sama dia.” Mbak Aida kembali menghadap ke depan, ke arahku.
“Dul. Maafin saya yah, saya enggak mau nolong. Lebih baik mereka menemukan orang lain yang bisa menyembuhkan anak itu,” ucap Mas Ade dengan tegas.
Dalam hati, aku sungguh kecewa dengan sikap Mas Ade. Bagaimana bisa dia yang suka menolong, menjadi orang yang enggan menolong? Aku pun ingin melihat, bagaimana bila Keysia bertemu dengan Mbak Aida.
“Iya, enggak papa, Mas.” jawabku, dengan terpaksa.
“Daripada saya bilang, ‘bukannya saya gak mau menolong, tapi biar dia cari orang lain buat nolong’. Itu sama saja dengan saya enggak mau menolong. Lebih baik, saya bilang langsung, ‘bahwa saya enggak mau menolong’.” Ia menatap tajam padaku. “Sekali lagi maafin saya ya, Dul,” lanjutnya.
“Iya, gak papa, Mas,” jawabku jelas tanpa terpaksa. Terus terang aku amat segan pada Mas Ade. Decak riuh pun tertanam dalam hati akan kepribadiannya yang mau meminta maaf.
“Kamu kenapa sih, Ra? Kamu pasti punya alasan di balik ini? Atau kamu sangsi sama aku?” datar Mbak Aida berucap.
“Bukan itu, Aida. Aku gak ragu atau pun khawatir sama kamu. Hanya saja saat ini hatiku bilang, jangan. Entah apa asalan di balik hatiku yang gak memperbolehkan kamu datang ke sana,” jawabnya.