Gema azan Zuhur sayup-sayup terdengar, pertanda waktu sudah bergerak menuju tengah hari. Ember biru besar kuletakkan di depan pintu frameless, lantaran kedua daun pintu yang harus aku buka terlebih dahulu sebelum memasuki ruang tengah. Namun Mbak Tri memanggil, saat aku sudah membuka pintu kaca lebar-lebar.
“Kita salat Zuhur dulu, yuk?” ajaknya.
“Oke, Mbak, setuju,” jawabku, kembali menutup pintu.
Ember berisi pajangan pun aku tinggalkan di teras belakang. Di samping kursi goyang yang bersandar pada dinding keramik hijau, bersebelahan dengan dinding dapur.
Kami lalu melaksanakan ibadah salat Zuhur berjamaah. Aku sebagai imam dan Mbak Tri sebagai makmum. Tanpa embel-embel perdebatan panjang antara muhrim dan tidak muhrim. Antara sah atau tidak sah. Karena bagiku, Mbak Tri sudah kuanggap seperti sosok tanteku sendiri. Masa, iya, Tuhan tidak menerima ibadah kami?
Ya. Memang belum terlalu lama kami saling mengenal. Tetapi sifat keterbukaan membuat kami bisa cepat akrab. Begitu pula dengannya. Aku yakin, Mbak Tri mungkin juga menganggap diriku sebagai keponakan, atau bahkan sebagai anaknya.
Selepas salat Zuhur, kami membawa ember untuk meletakkan pajangan ke tempatnya masing-masing. Mbak Tri mengangkat ember dan masuk lebih dulu ke ruang tengah, sedangkan aku berjalan tergopoh karena ember besar yang penuh berisi pajangan ini terasa agak berat.
Denyut di kepala dan detak jantung yang berubah lebih cepat kembali kurasakan begitu berada di ruang tengah.
“Dul, tadi kamu menyalakan AC, yah?” tanyanya seraya meletakkan ember ke lantai, di samping sofa merah.
“Enggak, Mbak,” jawabku, juga meletakkan ember yang penuh perabotan.
Saat memasuki ruangan tengah, suhu udara memang terasa begitu dingin, tetapi sejak tadi keempat pendingin ruangan yang ada di sudut atas tidak-lah dalam keadaan menyala.
Siapa pula yang menyalakan AC?
“Serius, kamu gak menyalakan?” Mbak Tri bertanya lagi.
“Beneran, enggak, Mbak. Saya juga enggak tahu di mana remote AC-nya.” Mataku tertuju pada salah satu pendingin ruangan yang paling dekat dengan tempat kami berdiri.
“Tapi, AC-nya memang enggak nyala kok, Mbak,” seruku, agar suasana menjadi cair, dengan tangan membelai udara guna merasakan hawa yang darang. Sungguh, aku tidak ingin Mbak Tri takut seperti tadi, walaupun aku juga merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini.
Aku pribadi merasakan adanya kehadiran sesorang yang sedang memperhatikan kami dari balik tabir yang tak terlihat.
“Ya udah, Mbak. Udara dingin tuhh karena dari semalam AC-nya menyala terus,” ucapku berusaha mengalihkan.
“Enggak, Dul. Tadi enggak dingin kayak gini kok,” gumamnya.
Aku langsung mengambil dan meletakkan pajangan berupa patung kuda kaca di tengah meja. “Ini letaknya di sini yah, Mbak?” tanyaku.
“Bukan.” Kepalanya masih saja celingukan mengamati sekeliling ruang tengah, lalu mengambil pajangan kuda kaca di atas meja.
Seketika itu juga kepalaku bertambah pening. Pandangan mata pun rasanya seperti berkunang-kunang. Rasa ini datang sesekali, dan secara tiba-tiba.
“Ini kok dingin banget, yaa?” gumam Mbak Tri bernada gelisah. Tangan kirinya memegang leher belakang.
“Dug ... dugg ... dug ... dugg ...”
Tiba-tiba terdengar suara seperti tumit kaki yang ditendang ke tembok. Terdengar sangat jelas.
“Dul. Suara apa itu?” Mbak Tri langsung menengok padaku.
“Enggak tahu juga, Mbak. Itu kali, hmmm, dari tetangga sebelah,” jawabku cari alasan. Padahal aku tahu, suara tersebut jelas terdengar dari dalam ruangan ini.
Arah pandangku lalu tertuju pada perpustakaan yang terhalang oleh bilik seperti rajutan bambu dengan panjang empat meter dan tinggi dua meter. Hatiku seakan-akan terus mengajak agar aku segera datang ke sana.
“Dug... dugg ...”
Suara itu terus berbunyi. Aku segera melangkah menuju perpustakaan.
“Dul, mau ke mana?” panggilan Mbak Tri menghentikan langkahku. Tangannya masih menggenggam pajangan kuda.
“Mau ke perpustakaan itu, Mbak?”
“Aku ikut, Dul.” dia tergesa-gesa menghampiriku.
Jarak dari tempat kami berdiri ke perpustakaan sekitar delapan meter. Ketika langkah kakiku sudah berada di tengah-tengah antara ruang televisi dengan perpustakaan itu, sebuah keanehan pun terjadi.
Semua pandangan yang kulihat di dalam rumah besar ini berubah. Semuanya berubah, menjadi seperti apa yang terlihat dalam kondisi sakitku kemarin. Yakni hamparan tanah kosong yang terlihat di waktu malam, dengan asap-asap yang berada satu meter di atasnya. Namun ketika sakit kemarin, aku melihat tanah kosong yang banyak tumbuhan ilalang setinggi betis kaki. Di sini aku hanya melihat tanah kosong saja, dengan asap-asap yang seakan hidup dan menari di atasnya.