Aku memutuskan untuk kembali masuk ke kamar Keysia, karena penasaran sama buku harian yang tadi kubicarakan dengan Mbak Tri. Biarlah aku menjadi orang yang tidak sopan. Toh, rentetan pertistiwa ini sudah membawaku sampai ke sini.
Dorongan rasa penasaran pada peristiwa ini memintaku untuk menggeratak laci meja rias sang pemilik kamar. Namun laci kecil tersebut dalam keadaan terkunci.
Yah, sudahlah.
Aku pun berbalik badan, hendak keluar kamar. Tetapi saat menutup pintu, aku mendengar suara benda kecil yang jatuh ke lantai kamar.
Benda apakah yang jatuh tersebut?
Aku mencari-cari ke semua lantai yang terlihat, tetapi tidak terlihat ada benda apa pun yang jatuh walau sebuah jarum. Dan ktika aku mengintip kolong tempat tidur, aku menemukan sesuatu seperti benda kecil dan tipis. Segera kumasuki kolong tempat tidur untuk mengambilnya.
Semenjak hari pertama kejadian ini, aku seringkali bertanya-tanya; Bagaimana hal ini bisa terjadi? Pertanyaan itu terulang kembali, ketika aku mendapati sebuah kunci kecil yang tidak ada gantungannya, dan memasukkan kunci tersebut ke dalam lubang kunci laci meja rias. Ternyata laci itu dapat terbuka.
Sebuah buku bersampul cokelat tebal seukuran buku tulis terlihat di dalam laci. Segera saja aku mengambil buku tersebut, kemudian membuka halamannya.
Halaman pertama dari buku itu berwarna merah muda cerah. Hanya ada satu judul bertuliskan ‘My Diary’ yang ditulis dengan huruf berukuran agak besar.
Seketika rasa dingin menjalar dari kedua telapak kakiku sampai ke pergelangan. Seperti merendam kaki ke dalam air dingin sebatas mata kaki. Tetapi aku tidak menghiraukannya.
Lembar ke-dua dan selanjutnya dari buku harian ini berwarna putih, sama seperti buku tulis biasa. Di sudut atasnya tertera jam, hari, tanggal, bulan dan tahun saat ditulis.
Aku pun duduk di pinggir tempat tidur, dan mulai membacanya.
I’m Sorry
Dear Diary.
Hari ini gue merasa bersalah sama seseorang. Dia adalah teman sekelas gue yang bernama Riko. Jam istirahat tadi, dia nembak gue dengan puisi bikinan dia. Puisinya sih bagus. Tapi gue yakin itu bukan puisi bikinan dia. Paling dia nyari di Google dan plagiat. Udah males, tambah males deh gue dengernya.
Anaknya sih baik, putih, dan manis. Teman sekelas gue juga ada yang suka sama dia. Tapi emang dasarnya gue gak suka, yah langsung gue tolak.
Gue gak mau kasih harapan palsu sama dia. Seperti si Yuli yang ngasih harapan palsu buat si Adi. Seperti si Ayu yang manggil-manggil kucing tanpa memberinya makanan, cuma dielus-elus doang. Gue gak mau kayak mereka.
Maafin gue yah Riko. Lebih baik lo jadi teman gue selamanya. Gue pasti berdoa buat lo. Suatu saat nanti, lo pasti nemuin cewek yang lebih baik dari gue. Jangan marah sama gue yah, Riko.