MAYDARA

Rudie Chakil
Chapter #21

Keterlaluan!

Tuhan pasti mengondisikan satu masalah pada manusia, tak lain hanyalah cara-Nya, supaya manusia itu sadar akan kekeliruan dirinya sendiri.

Itu sih menurut keyakinanku, gak tahu gimana menurut orang lain.


Jikalau aku punya masalah keuangan yang tak kunjung selesai sedari dahulu, maka memang demikianlah Tuhan mengondisikan kehidupanku. Hal tersebut adalah sebuah kondisi supaya aku mau bekerja lebih keras, juga belajar menata, bagaimana cara mengatur anggaran keuangan. Semua hanyalah tentang diri kita sendiri.

Begitu juga dengan orang-orang yang sedang diberikan ujian kehidupan, rasa sakit, kehilangan, kesusahan, serta segudang masalah lain dalam hidup. Tak ubahnya seorang nahkoda kapal yang berusaha mengarungi samudera penuh ombak. Semua terjadi sesuai dengan kemampuan seseorang yang menerima ujian tersebut.

Ah, jika sedang berpikir dalam, aku tak ubahnya mangga alum yang busuk sebelum waktunya. Pemikiranku sudah seperti orang dewasa beranak tiga. Tetapi, aku serius.

Demikian pula dengan apa yang terjadi pada Keysia dan keluarganya.

Hari ke-empat bekerja di sana, aku baru sedikit memahami. Karena jika mereka menyadari ternyata ada benarnya juga; Mengapa Tuhan mengondisikan masalah seperti ini pada keluarga Bapak Agung?

Peristiwa ini semakin terlihat seiring berlalunya hari-hari di rumah ini. Bagai puzzle yang saling mencocokan kepingan demi kepingan kejadian yang kualami. Mulai dari perkataan-perkataan Keysia saat sedang tidak sadar, ucapan Frida, cerita Mbak Tri, membaca buku harian Keysia, sampai melihat langsung dengan mata sendiri bagaimana sikap berikut sifat Bapak Agung.

Meski masih sama-samar terbayang dalam pikiran, aku jelas mempunyai dugaan kuat atas peristiwa ini. Seperti diperlihatkan Tuhan; Mengapa Keysia bisa sakit non fisik sedemikian.

Pagi itu hari Senin, pukul 09.30, Ibu Rika terlihat berbincang-bincang sambil berjalan dengan sang suami, Bapak Agung. Langkah mereka beriringan dari pintu kaca menuju tempat duduk di sisi kolam renang.

Bapak Agung memakai kemeja putih bercelana hitam, membawa laptop di tangannya. Sedang Ibu Rika memakai kaus putih bercelana jeans. Mereka membicarakan sesuatu, berdiri di samping meja bundar. Aku tidak mendengar, apa percakapan mereka. Tetapi tangan Ibu Rika terlihat menunjuk-nunjuk padaku, memberitahukan sesuatu pada suaminya.

Aku sedang mengaduk-aduk cat sambil mencampurkannya dengan air bersih. Melaksanakan perintah Ibu Rika sore hari kemarin untuk mengecat tembok sebelah kiri kolam renang.

Pukul 08.30 tadi, saat baru tiba di rumah ini, Ibu Rika menyuruhku untuk membeli segala perlengkapan mengecat. Dari mulai ember kecil, roller, bak cat, juga kuas besar dan kecil. Selesai membeli barang-barang, aku melihat mobil sedan ada di teras rumah. Mercedes hitam mengkilat yang terparkir di belakang mobil keluarga, yaitu Alphard putih yang pagi tadi dikeluarkan oleh pak Amin dari garasi dengan pintu kayu cokelat memanjang yang berada di sebelah kanan rumah. Kendaraan mewah itu ternyata milik Bapak Agung, yang baru pertama kali kulihat orangnya.

Aku hanya bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana komunikasi dalam keluarga ini? Sampai selama empat hari, kepala keluarga, suami, sekaligus bapak dari satu keluarga bisa tidak pulang sebegitu lama?

Apakah Bapak Agung mempunyai pekerjaan yang mengharuskannya meninggalkan rumah? Apakah merasa jenuh di rumah besar yang hanya di isi oleh dua dari empat orang yang memang adalah keluarganya sendiri? Ataukah seperti penggalan praduga dalam pikiranku, dari kesimpulan saat selesai membaca buku harian Keysia kemarin?

Ya, sudahlah. Aku hanya bekerja di rumah ini. Aku enggan berurusan lebih jauh dengan problematika dalam keluarga ini, meskipun kejadian demi kejadian membawaku untuk terus memahami.

Bapak Agung terlihat meletakkan laptop yang dipegangnya ke atas meja bundar, kemudian berjalan ke arahku dengan kedua tangan di belakang pinggang. Aku yang sedang berjongkok sambil mengaduk cat, segera berdiri, karena memang melihatnya datang mendekat. Bapak Agung tidaklah tinggi, bahkan terbilang pendek, juga bertubuh gempal. Dia memakai kacamata. Berkulit agak cokelat dan berkumis tebal. Rambutnya tipis agak botak di tengah-tengah kepala. Wajahnya kaku, tidak ada garis senyum seujung bibir pun.

Dia berdiri sambil mengamatiku yang juga berdiri di depannya. Bola matanya naik-turun beberapa kali. Demi Tuhan, itu adalah pandangan mata paling tidak enak yang pernah ditujukan seseorang seumur hidupku.

“Pak.” Aku pun tersenyum dan menyapa dengan ramah.

Pria itu langsung membalikkan badan, lantas berjalan menuju ke tempat semula.

Yaa Allah! Batinku bicara sambil mengelus dada dengan tangan yang tak terlihat. Sungguh, angkuh betul ini orang. Gumamku sendiri, dan kembali sibuk dengan pengaduk kayu di tangan.

Lelaki yang terlihat sudah berumur itu duduk di kursi, lalu membuka laptopnya. Mbak Tri datang membawakan sebuah cangkir, meletakkannya di atas meja, sementara Ibu Rika menemani, duduk disebelahnya.

Aku segera mengambil tangga lipat di gudang untuk mulai mengecat tembok dari bagian atas terlebih dahulu. Ketika melewati samping tempat duduk mereka, aku tidak mendengar ada perbincangan hangat selayaknya suami-istri. Bapak Agung sibuk memainkan laptop, sedang Ibu Rika juga sibuk dengan ponselnya sendiri, hanya sesekali menengok pada layar laptop. Begitu pula saat tangga lipat kubawa dari gudang. Kondisinya sama persis.

Selang beberapa waktu kemudian, aku memindahkan posisi tangga lipat ke sebelah kanan, sebab bagian kiri atas tembok sudah aku ubah menjadi warna putih. Kulihat ibu Rika sudah tidak ada di tempatnya, tinggal Bapak Agung yang tetap sibuk memainkan laptop. Aku juga melihat Mbak Tri sedang memberi makan burung-burung di dalam sangkar yang ia turunkan terlebih dahulu.

Setelah menggeser tangga lipat, aku kembali ke pinggir kolam untuk menuang cat dari ember besar ke ember kecil. Aku melihat Bapak Agung tergesa-gesa mendatangi Mbak Tri. Spontan saja, pandangku mengikuti langkahnya. Ia berdiri di belakang Mbak Tri yang tidak melihat kedatangannya.

Lihat selengkapnya