Gema azan Asar berkumandang, seiring sinar hangat matahari petang serta goresan terakhir kuas cat pada permukaan dinding. Paripurna, sudah. Tembok yang sebelumnya berwarna abu-abu gelap kini berganti warna menjadi putih yang tampak menyeluruh. Selesai sudah pekerjaanku di hari ini.
Namun, ada satu hal yang masih kurang dan terasa belum sempurna. Yakni sebuah pertanyaan besar dalam hati karena rasa inginku melihat.
Keysia kok belum pulang yaa?
Sungguh, napasku belumlah terasa lega jika pandang mata ini belum tertuju pada gadis itu. Rumah ini juga terasa sepi tanpa kehadiran dirinya. Aku melihat hanya ada Mbak Tri yang masih beraktivitas di samping tumpukan pakaian yang tertata rapi di atas meja sebelah papan setrikaan.
Aku pun berlekas merapikan peralatan untuk disimpan di gudang. Dan ketika sedang mencuci peralatan bekas cat, aku mendengar suara percakapan dua orang dari arah dapur. Suaranya kian terdengar semakin keras serta bernada tinggi.
Ah, ini bukanlah sebuah percakapan, melainkan perseteruan lisan antara dua orang.
Mbak Tri tampak resah dengan raut wajah rasa cemas. Mungkin inilah yang dimaksud olehnya kemarin, bahwa ia pusing kalau melihat anggota keluarga ini sedang bertengkar. Padahal bukan pusing, tapi lebih tepatnya malas atau enggan.
Seketika itu juga terdengar dari dalam rumah, suara seperti piring atau gelas yang pecah, kemudian diikuti oleh langkah Ibu Rika yang tergesa-gesa keluar dari pintu kaca.
Wanita bergaun putih itu berdiri sambil menangis di depan pot-pot bunga, di samping kandang burung besar.
Tak lama kemudian Bapak Agung juga berjalan keluar, berdiri di samping kursi goyang.
“Itu urusanku! Siapa pun tidak berhak mencampuri urusanku!” Geramnya dengan tangan menunjuk-nunjuk di depan dada.
Aku dan Mbak Tri hanya berdiri mematung di tempat masing-masing.
Ibu Rika pun menengok padanya. “Kamu emang enggak pernah sayang sama keluarga!” napasnya tersengal-sengal.
“Pernah minta apa, Keysia sama kamu, Mas? Enggak pernaaah!” Suaranya tinggi dan serak, berteriak sambil menangis.
Bapak Agung mendatangi Ibu Rika dan memegang tangannya.
“Sekarang aku bilang sama kamu. Anak itu sudah hampir gila, karena setan di dalam dirinya,” ujar pria itu pada istrinya dengan tatap sinis.
“Gila! Gila? Kamu bilang anakku, gila?” Ibu Rika melepaskan genggaman tangan sang suami. Wajahnya geram dengan mata menatap tajam.
“Ini semua gara-gara kamu?!” jari telunjuknya mengarah tepat pada wajah Bapak Agung.
Seketika itu juga Bapak Agung menampar Ibu Rika. Tanpa basa-basi pria itu main tangan dan mempertuhankan nafsu amarahnya. Aku dan Mbak Tri cuma bisa menelan udara kering.
“Dalam waktu dekat anak itu harus segera disembuhkan. Sekarang aku mau pergi!” ketus pria dengan celana bahan hitam kemeja putih itu sambil berbalik badan, melangkah masuk rumah tanpa perasaan bersalah. Meninggalkan sang istri yang tengah menangis sambil menunduk dengan kedua tangan yang menutup wajahnya.
Mbak Tri segera mendatangi Ibu Rika, memeluk dan ikut menangis.
Yaa Allah ... baru kali ini aku melihat seorang suami begitu tega menampar istrinya. Benarlah kata ibuku kemarin, jika lebih baik hidup dalam keluarga seperti keluarga kami, meski dalam keadaan ekonomi yang begitu sulit.
“Dul.” Mbak Tri memanggil saat aku sedang mencuci tangan.
“Sebentar, Mbak,” balasku sambil memberi isyarat dengan tangan, memintanya untuk menunggu.
Ibu Rika dan Mbak Tri duduk di kursi pinggir kolam renang. Aku pun mendekat.
“Ini teh kamu.” Mbak Tri menawarkan, sembari menunjuk pada salah satu gelas.
“Iya, makasih, Mbak” ucapku, seraya melirik Ibu Rika yang duduk tenang dengan mata sembab.
Aku mengambil kursi, duduk di depannya. Cukup lama wanita itu terdiam sambil menatap permukaan air. Aku dan Mbak Tri juga diam, hanya sesekali menyeruput teh manis hangat yang tersaji.
“Kamu sudah mengerti, kan, Tri, gimana karakter bapak?” ucap Ibu Rika memecah kesunyian, menengok pada Mbak Tri yang hanya mengangguk.