Hari Selasa, semua tampak biasa saja. Aku melakukan aktivitas se-normal mungkin, yaitu membantu segala yang diminta oleh Ibu Rika atau Mbak Tri. Aku tak pernah merasa malu ataupun gengsi dengan hal itu, karena memang demikianlah konsekuensi bekerja pada orang lain. Terlebih bekerja pada orang lain, di dalam rumahnya.
Sampai siang ini, belum ada sesuatu yang mengundang kata ‘wah’ semenjak pagi tadi. Namun ketika waktu sudah bergerak menuju sore hari, barulah ada kejadian yang membuatku ‘harus menarik napas panjang’.
Sore hari, di waktu yang nyaris sama dengan kemarin saat aku berbincang dengan Ibu Rika dan Mbak Tri, aku mengulang kembali pertanyaan yang sama. Bertanya-tanya dalam hati sebab belum juga melihat dara cantik di rumah ini.
Aku tidak tahu, apakah dia sudah pulang atau belum. Karena aku belum juga melihatnya. Siapa yang tahu jika dia sudah pulang, lalu mengunci diri di dalam kamarnya seperti kemarin? Hanya Tuhan dan buku hariannya yang tahu.
“Dul.”
Mbak Tri memanggil tatkala aku hendak mengambil garukan sampah dan serokan. Kulihat selokan di sisi tembok kolam renang sudah kotor, sekalian menyerok daun-daun pohon mangga yang jatuh di kolam renang.
“Kamu mau apa?”
“Mau bersihin selokan sama kolam renang, Mbak,” jawabku.
“Hmm, tadinya aku mau minta tolong bantuin beresin gudang. Kita kan besok mau pergi,” ucapnya.
“Ohh, gimana kalo besok pagi aja, Mbak?” tawarku.
“Ya udah, besok pagi yah.” Mbak Tri berlalu masuk ke dalam. Aku hanya menggelengkan kepala, betapa rajinnya wanita berdaster biru cerah itu. Ada saja yang ia kerjakan setiap waktu.
Alat-alat kebersihan ada di pinggir tembok lorong besar, lengkap dengan kayu cokelat untuk menempatkan sapu ijuk, sapu lidi, sapu karet, pel, ember, pengki, garukan, dan serokan.
Garukan bertangkai panjang kuletakkan di bahu kanan, sementara tangan kiriku menjinjing serokan.
“Berhentiii.” Suara Keysia terdengar dari arah kanan, dekat kandang burung. Aku menengok tapi tetap melangkah.
Pemilik suara cempreng itu terburu-buru mendekatiku. “Diam ... diam,” pintanya, lalu mengarahkan ponselnya padaku. Aku segera menurunkan garukan sampah di pundak karena rasa malu.
“Kaya tadi, kaya tadi,” seru gadis yang masih berseragam sekolah itu sebelum aku sempat menurunkan garukan sampah. Aku pun kembali pada posisi semula.
Seketika itu juga ia mengambil fotoku, kemudian melihat hasilnya. Aku lekas mendekat, sebab ingin tahu juga hasil dari foto tersebut. Kami pun melihat layar ponsel bersama-sama.
Berada di belakangnya, aku baru benar-benar merasakan hawa cantik seorang wanita dari jarak yang sangat dekat. Wangi parfumnya, begitu melekat bersama pandang kagumku.
“Kaya Ci Patkay,” ucapnya sambil menoleh, “Hahaha,” lalu tertawa.
Aku tak bisa menjawab apa-apa, hanya bisa nyengir kuda, eh, nyengir unta.
Keysia lalu berjalan menuju bangku di sisi kolam renang, duduk di sana sambil memainkan ponsel. Sedang, aku lanjut membersihkan daun-daun yang berserakan di kolam renang.
Mbak Tri datang membawa nampan berisi sirup oranye dan empat gelas kosong, meletakannya di atas meja bundar.
“Duljana,” panggil Keysia. Suaranya terdengar khas di telingaku, “Sirup,” ia menawarkan.
Aku meletakkan serokan sampah ke tembok kolam renang, kemudian mendatanginya.
“Keysia enggak sama Frida?” tanyaku, seraya menuang sirup.
“Enggak ... tadi dia langsung pulang,” balasnya sambil tetap memegang ponsel.
Aku duduk dan meminum. “Besok berangkat jam berapa, Keysia?” tanyaku lagi.
“Pulang sekolah aja.”
“Frida ikut gak?”
“Gak tahu, katanya sih mau ikut, tapi tahu boleh apa enggak,” jawabnya, masih dengan ponsel di tangan.
“Eh, Duljana, rumah lo yang di depannya ada pohon mangga itu yah?”
“Iya,” jawabku. Gadis berwajah agak bundar itu mengangguk-angguk. Aku duduk santai sambil menikmati sirup dingin.
Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiranku, untuk bertanya lebih detail padanya. Tentang sesuatu yang pernah diberitahukan oleh Mas Ade.
“Keysia,” sapaku. “Saya boleh nanya satu hal gak?”
“Apaan?” matanya masih sibuk menatap layar ponsel.
“Emangnya benar, kalau seseorang ingin sesuatu yang A maka dibutuhkan sesuatu yang B untuk mewujudkan sesuatu yang A itu?” tanyaku.
Keysia langsung menatap tajam layar ponsel. Pandangannya tertuju pada satu titik di depannya, tetapi terasa tidak melihat layar ponsel. Seperti orang yang berpikir keras atas sesuatu yang cukup serius. Tak lama kemudian ia menengok dan memperhatikan tatap mataku.
Aku melihat jelas, satu tetes air mata mengalir dari sudut mata gadis cantik itu.
Yaa Allah, apakah ada yang salah dengan pertanyaanku?
“Keysia, mohon maaf ya, kalau pertanyaan saya salah. Saya gak bermaksud apa-apa,” gumamku padanya, merasa takut dan juga malu atas pertanyaanku.