Sepertinya tidak satu pun manusia yang menyukai terik matahari siang.
Hampir semua manusia mungkin lebih menyukai panorama matahari tenggelam, atau matahari pagi yang baru hadir.
Padahal, bagaimana bisa ada yang namanya matahari terbit dan tenggelam, jika tidak adanya matahari siang?
Oh ya, apakah bangsa jin itu bisa terkena sinar matahari atau tidak ya? Terkena hujan atau tidak?
Suatu ketika nanti, aku akan menanyakan hal ini pada Keysia.
Dia pasti mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanku seputar hal ini.
Pukul 13.00, aku sedang menjemur kain lap di bawah terik sinar matahari siang, setelah sebelumnya bersama Mbak Tri membersihkan seluruh isi ruangan gudang.
Tempat menjemur pakaian ini berada di lantai dua, belakang rumah. Area seluas ruang belakang yang terletak tepat di atas dapur, kamar mandi belakang, ruang mencuci, dan ruangan gym yang berada di sebelah kiri dapur. Hanya sebuah kabin beralas semen yang bersebelahan dengan genting tebal berwarna merah terang. Ruang terbuka ini diisi oleh dua buah alat menjemur pakaian yang terbuat dari besi almunium, serta sebuah area untuk tandon atau toren air yang berada di ujung area.
“Pakaian di atas udah kering apa belum, Dul?” Mbak Tri bertanya ketika aku turun dari tempat menjemur pakaian, lewat tangga melingkar yang berada di sudut kanan belakang rumah
“Wah, saya enggak periksa, Mbak. Tapi kayaknya udah kering deh,” jawabku. Tadi aku disuruh olehnya mencuci dan menjemur banyak kain lap kotor. Namun saat menjemur tadi, dia tidak memintaku untuk mengecek pakaian yang telah dijemur olehnya sejak pagi tadi.
“Oh, ya sudah,” jawabnya, langsung bergegas naik ke atas saat aku baru saja melepas tangan pada pegangan tangga melingkar di bagian paling bawah. Aku pun berjalan ke dalam rumah. Mengembalikan ember bekas mencuci kain lap, kemudian menuju kamar mandi karena butiran keringat yang mengucur deras di sekujur tubuh.
Setelah mandi dengan sistem 'kebut cepat', aku menyantap hidangan yang telah disediakan Mbak Tri di meja dapur.
“Siap-siap, kita berangkat.” Suara seorang perempuan terdengar renyah di telingaku dari arah belakang. Ketika aku menengok, ternyata pemilik suara itu sudah ada di depan pintu kaca.
Dia baru saja pulang sekolah. Masih mengenakan tas ransel di bahunya. Dia pasti masuk rumah lewat jalan lorong sebelah kiri.
“Makan, Keysia?” aku menawarkan dengan satu anggukan kepala. Gadis itu melangkah mendekat padaku.
“Takut gemuk,” ujarnya sambil memperhatikan piring nasiku yang menggunung.
“Gak papa gemuk juga. Banyak yang ngagumin ini lahh,” ledekku sambil mengunyah.
“Lo suka ngintip sosial media gue, yah?” Keysia menatap padaku. Tenggorokanku langsung tersendak mendengar perkataannya.
“Hehehe ... iya.” Aku mengambil gelas berisi air putih dan langsung meminum.
“Hmmm, gue juga pernah lihat wall Facebook lo kok, Duljana,” serunya.
“Hah! Yang bener? Sungguh?”
“Iya.” Dia tersenyum. “Lo malu yaa, mau add friend gue? Ngapain malu sih?” seraya melangkah menuju ke dalam rumah.
Sial. Gumamku dalam hati karena merasa tidak pernah menang saat berhadapan dengannya, meski hanya sebuah percakapan. Dia selalu tahu tentangku, dan aku selalu ditembak mati olehnya dengan pernyataan-pernyataannya. Mungkin inilah yang dimaksud Frida, bahwa Keysia selalu dijauhi teman-temannya karena seringkali memberi kritik pada orang lain.
Selesai makan, saat aku sedang duduk santai di teras belakang rumah, Ibu Rika menghampiriku dan memberitahu, bahwa sebentar lagi kita akan segera berangkat.
Aku lantas meminta izin padanya untuk pulang sebentar, guna mengambil pakaian ganti, sekaligus berpamitan dengan ibu.
Sampai di rumah, aku melihat ibu sedang berada di kamarnya. Beliau duduk di pinggir tempat tidur dengan posisi badan berada di balik pintu lemari pakaian yang terbuka lebar. Aku tidak mengetahui apakah beliau sedang membereskan isi lemari, atau baru saja memasukkan sesuatu.
“Bu. Duljana mau berangkat yaa,” ucapku sambil berdiri di depan pintu kamar yang terbuka.
“Iya. Itu pakaian kamu udah ibu kemas di dalam tas,” jawabnya, agak panik dan terasa menyembunyikan sesuatu.
“Iya, Bu,” aku pun menghampirinya yang sedang menutup pintu lemari, lalu memintanya untuk mengulurkan tangan.
“Bu ... Duljana mohon doa restu yaa,” pintaku seraya menyium punggung tangannya.
“Iya, Dul. Baik-baik yaa, di mana aja kamu berada,” nada suara ibu amat ceria menyambut pintaku. Aku langsung menatap wajahnya.
“Ya udah, Bu, Assalammualaikum,” ucapku, berbalik badan dan melangkah keluar.
“Waalaikumsalam,” jawab Ibu, begitu rida akan kepergianku.
Setelah itu aku langsung kembali ke rumah Keysia. Sekitar satu jam kemudian, kami berlima berangkat menuju vila keluarga di daerah Lembang, Bandung.