Kami menyalakan lampu senter dari ponsel masing-masing.
“Jekko, Jekko, yang tenang yaa di sana,” ujar Keysia sambil melambaikan tangan ke arah kuburan anjingnya itu. Aku pun tersenyum setengah tertawa mendengarnya, lalu kembali bergerak dengan langkah cepat.
“Heh, Duljana!” gadis remaja itu menepuk bahu kananku. “Jalannya buru-buru amat sih,” hardiknya.
“Gue mau salat Magrib soalnya,” jawabku.
“Iya tahu. Tapi enggak kayak gitu juga lahh,” balasnya. Memang aku berjalan sangat cepat, bahkan hampir setengah berlari.
“Iya, iya, hehehe,” balasku seraya melambatkan tempo berjalan.
Aku berjalan cepat karena memang sudah merasa takut sejak perjalanan pulang tadi. Perasaanku seperti ada seseorang yang mengejar langkah kita dari belakang. Dan benar saja.
Tiba-tiba Keysia menghentikan langkahnya, lalu berbalik badan. Aku pun menengok padanya dan ikut berhenti. Dia berdiri mematung dengan napas yang agak tersengal.
“Gak usah ikutin gue dehh,” ucapnya pada jalan setapak yang sudah kita lewati.
Desir keringat dingin seakan mengalir lewat pembuluh darahku, bersamaan dengan berdirinya bulu roman.
Allah. Ucapku dalam hati sebab terkaget. Bayangan gelap membentuk wujud seseorang tinggi besar berada di depanku, dan langsung menghilang bersama kesamaran cahaya di langit senja.
Bersamaan dengan detak jantungku yang berdetak cepat, aku mulai melangkah perlahan ke depan jalan setapak. Sementara Keysia masih berdiri di tempatnya.
Anak ini benar-benar seorang gadis pemberani.
Tak lama kemudian dia kembali berjalan. Aku pun menyesuaikan posisi jalan agar selalu berada di sebelah kirinya, hingga terlihatlah lampion bercahaya yang berjejer di atas pagar tembok.
“Eh, Duljana … nanti malam kita bakaran singkong yukk,” serunya, saat berjalan di depan pagar.
“Wahh, ide bagus tuh,” sahutku penuh sambutan suka-cita. “Tapi, singkongnya dari mana?”
“Beli lah, masa nyolong,” balasnya.
“Ayo deh ... asyiikk.” Kami pun masuk ke vila.
“Keysia, lama amat sih. Tuh, Si Tri udah nyiapin makan,” ujar Ibu Rika ketika melihat kita baru saja datang. Keysia tidak menjawab, langsung duduk di samping ibunya dan membuka sepatu.
“Bu, saya mau salat Magrib dulu yah,” pintaku.
“Iya, Dul. Setelah ini kita makan yaa,” balasnya.
“Baik, Bu,” ucapku seraya berjalan ke belakang untuk mengambil wudu.
“Mbak Tri udah salat?” tanyaku saat berpapasan dengannya di perbatasan ruang tengah dan ruang dapur.
“Udah. Tadi habis adan langsung salat,” jawab wanita berkaus biru itu. “Kalau mau ambil wudu bisa di kamar mandi, atau di samping kolam renang,” lanjutnya.
“Oh, ada kolam renangnya juga, Mbak?”
“Ada,” balasnya.