Aku benar-benar menikmati perjalanan bersama Keysia. Bagiku dia adalah seorang gadis yang benar-benar elok. Sungguh, sangat keren.
“Teh Rani yang tadi dibilang sama Pak Amin itu saudara kamu yah, Keysia?” tanyaku padanya, hanya memperjelas saja. Sebab ketika perjalanan berangkat tadi, selepas keluar dari jalan Tol, Pak Amin bertanya pada Ibu Rika, ‘apakah mau mampir ke kediaman Teh Rani’? Itu mungkin adalah keluarga yang pernah diceritakan oleh Mbak Tri. Tetapi pertanyaan Pak Amin langsung disangkal oleh Keysia yang tidak mau mampir ke rumah Teh Rani.
“Iya ... itu Tante Rani, adiknya Mamah,” jawabnya.
“Oh, tadi kok kamu gak mau kalo mampir ke sana?” tanyaku lagi.
“Kita jalan punya tujuan, Duljana. Dari rumah tujuan kita ke vila, bukan ke sana,” jawabnya sambil menembakkan lampu jarak jauh, karena menyalip sebuah truk tanah dari sisi kanan jalan.
“Iya, iya,” balasku.
Setelah itu selama dalam perjalan, tiada obrolan yang terlintas. Sampai di sebuah ruas jalan yang cukup ramai seperti pasar.
“Di sini ada kali, nih,” ucap Keysia sambil melihat-lihat ke arah ruko yang berjejer.
Seorang tukang parkir memberi aba-aba untuk menepikan kendaraan. Keysia membuka kaca mobil.
“Bang, ada yang jual singkong gak?” tanyanya.
Lelaki yang ditanya itu terkaget dan tertawa kecil sambil memperhatikan wajah Keysia.
“Ada ... ada, di sana,” sambil menunjukkan salah satu ruko dengan tangannya.
Keysia menepikan kendaraan lebih ke kiri jalan untuk parkir. Kami segera turun dan menuju ke tempat yang dimaksud untuk membeli singkong.
Di samping warung buah-buahan tempat menjual singkong itu, terdapat toko kue-kue serta toko aneka macam soufenir dan aksesoris.
“Dul, lihat itu dulu yukk,” pintanya saat selesai membeli singkong sebanyak satu kilogram, dan tentu saja jinjingan dengan plastik hitam itu aku yang membawanya.
Keysia masuk ke toko soufenir dan melihat-lihat bermacam kalung dan gelang. Sementara aku menunggu di depan toko sambil melihat aneka soufenir yang dipajang.
Tak lama, ia keluar dengan membawa kalung sebanyak tiga buah.
“Pilih yang mana?” tanyanya padaku. Di tangannya terdapat kalung berwarna cokelat berbahan kayu, kalung besi dengan pernak-pernik warna-warni, dan kalung besi dengan bandulan batu berwarna biru.
“Yang, ini,” kataku sembari menunjuk kalung dengan bandul batu.
“Nih, buat lo,” ia mengulurkan tangan, memberikan kalung itu padaku.
“Hah! Makasih yaa, Keysia,” aku tersenyum dan menerima. Merasa senang. Tadi kupikir ia hanya meminta pendapatku saja untuk membeli kalung itu. Ternyata ia sudah membeli semuanya dan memberikan satu buah padaku.
“Ayo,” ujarnya sambil berjalan. Sedangkan aku masih mengamati kalung pemberian darinya itu.
“Mbak. Cowoknya ganteng sekali sih, wahahahaha.” Cela sebait kata bermajas ironi dari seorang laki-laki yang sedang nongkrong di antara kerumunan pemuda, disambung tawa teman-temannya. Setelah itu sebuah celetukan terdengar lagi dari seorang laki-laki yang lain.
“Pembantunya kali, hahahaha.”
Mereka berkumpul di depan toko yang sudah tutup, di samping toko aksesoris. Berjarak hanya sekitar empat meter dari tempat kita berdiri.
Brengsek ... kurang ajar banget anak-anak ini! Hatiku tersindir telak oleh celetukan mereka.
Keysia langsung menengok pada mereka, dan mendekat padaku. Tangan kanannya langsung masuk ke lengan kiriku, kemudian menggandengku mendatangi mereka.
“Siapa tadi yang ngomong?” tanyanya dengan suara tegas. Mereka semua terdiam.
“Lo liat tuh Alphard putih. Ulang-tahun gue yang kemarin, dia beliin gue mobil itu. Sekarang gue tanya, lo bisa beliin apa sama cewek lo?” sambungnya, dan tak ada jawaban dari mereka.
“Ayo, sayang,” Keysia menarik tangannya yang masih terkalung dengan tanganku untuk berbalik badan. Dan saat kami melangkah menuju mobil, dia sedikit merebahkan kepalanya di pundakku.
Oh, Tuhaaaan, betapa beruntungnya diriku. Aku pasti tak akan melupakan kejadian ini seumur hidupku.
Kami melanjutkan perjalanan pulang lewat jalan lain. Jalan ke arah kiri dari pasar, atau selaras dengan arah mobil yang diparkirkan. Sedangkan pada saat datang, kami datang dari arah kanan pasar.
Keysia menengok padaku dengan tersenyum, saat mobil sudah bergerak maju.
“Lo kenapa, Duljana?” tanyanya.
“Gak papa.” Aku menggelengkan kepala. “Gue kagum sama lo, Keysia,” sambungku.
“Lo jangan ke-ge'er-an yah. Gue tuh cuman gak suka sama anak-anak itu. Udah miskin tapi pada belagu,” tukasnya.
“Gue justru, makasih,” balasku, karena apa yang baru saja dilakukannya adalah untuk menyelamatkan harga diriku. Walaupun mungkin saja dia bisa dipandang sebagai cewek matre.
“Lagian gue juga tau diri lah.” Aku melanjutkan bicara sembari tertawa kecil.
“Iya, Duljana. Jangan pernah suka sama gue yah,” ucapnya, lalu menengok kembali. “Soalnya lo pasti gue tolak, hahaha,” dan langsung tertawa.
Sial!
“Iya... makanya gue bilang, gue tahu diri, hahaha,” balasku sambil tertawa geli karena jelas tahu akan hal itu.
Tetapi perasaanku ... tatkala duduk di sampingnya ...
Tuhaan ... Apakah aku (.....) padanya?
Kulihat jam digital di dashboard mobil sudah bertambah lima belas menit, dengan kecepatan 30-40 km/jam. Pukul 20.25 sudah, setelah melewati beberapa persimpangan jalan.
“Duljana ... tadi kita lewat pertigaan ini gak?” tanya Keysia sambil mengamati depan. Sebuah pertigaan jalan dengan banyak warung yang sudah tutup.
“Hmmm, perasaan enggak deh?” ujarku, juga memperhatikan jalan lewat kaca depan yang tampak bersih.
“Kayaknya jalan ini, nantinya bakal ketemu pertigaan di jalan yang tadi kita lewatin,” ucapnya.