Itu apa?
Dan di mana ini?
Mengapa hanya ada kegelapan seperti ini?
Aku bertanya pada diriku sendiri di tengah-tengah ruang kosong yang tampak gelap. Segelap mata terpejam dalam pekatnya malam.
Mimpikah aku? Mengapa yang aku lihat hanya ada satu sosok seseorang yang berdiri dalam kegelapan? Siapakah dia?
Ketika aku fokus pada satu titik di depan, sosok yang kulihat itu pun diam. Tatkala aku hendak melihat ke kanan, sosok itu menengok ke kanan. Tatkala aku hendak melihat ke kiri, sosok itu menengok ke kiri. Pun ketika aku hendak berjalan, sosok itu pula melangkah ke depan. Ketika itulah aku paham, bahwasanya sosok tersebut adalah diriku sendiri yang sedang berada dalam kegelapan.
Seperti beradaptasinya pandangan mata pada kecerahan cahaya sekitar, pelan namun pasti, terlihatlah suasana dari apa yang kulihat. Sebuah ruang terbuka yang tidak ada sinar matahari di sana. Tidak siang, tidak juga malam. Bias cahayanya tampak seperti bias cahaya senja hari di sebuah lembah.
Aku teringat, bahwa aku sudah berada di alam mimpi. Namun mengapa aku menyadari, jika aku tengah bermimpi? Aku juga tahu, jika aku sudah tertidur lelap sesaat yang lalu. Mengapa aku sadar, apabila aku baru saja tertidur? Kalau pun aku bermimpi, pastilah aku hanya mengikuti alur dalam mimpiku. Tetapi tidak dengan hal ini.
Aku serasa hidup ... hidup di dalam alam mimpiku.
Di tengah kecamuk kebingungan, aku merasakan hadirnya seseorang di balik kegelapan. Dia datang padaku dari tempatnya yang gelap dan kelam.
Kehadirannya bagaikan bayang-bayang yang terlihat di bawah redupnya sinar rembulan. Samar nan terlihat wujud seseorang. Seorang tua renta berperut buncit yang pernah kulihat beberapa kali. Dia berpakaian sorban putih. Seperti pakaian orang yang tengah menunaikan ibadah haji. Sorot matanya menatap serius kepadaku.
Rasa takutku tiba-tiba hadir, bagaikan seseorang yang ingin menolak sesuatu buruk yang kan terjadi pada dirinya.
“Ggrrrrr ... ggrrrr ...”
Aku mendengar suaraku sendiri yang sedang menggerung. Merasa takut karena mengetahui bahwa dia bukanlah seorang manusia seperti diriku. Aku takut padanya, dan berusaha memukulnya. Namun tanganku tidaklah mengenai apa pun.
Orang tua itu tetap melihat padaku dengan pandangnya yang menyeramkan. Aku terus memukul, memukul dan terus memukul. Tapi dia justru semakin mendekatkan wajahnya padaku. Terus mendekat dengan raut serius, sampai berada tepat di depan wajahku.
“Allah,” ujarku dengan tangan memukul ke depan.
Hanya mimpi buruk. Hanya mimpi buruk.
Aku memandang bingung, memperhatikan sekeliling ruang tengah vila. Hanya ada Ibu Rika, Mbak Tri dan Pak Amin yang tengah terlelap dalam pelukan mimpi di tempatnya masing-masing.
Udara di sini terasa sangat dingin. Membuat seluruh tubuhku menggigil. Bahkan celana Levis yang aku pakai seperti berbahan lilin yang membungkus kaki. Berasa sangat dingin. Apabila kutaksir, mungkin ketinggian dataran tinggi ini sekitar seribu dua ratus meter di atas permukaaan laut.
Jam cokelat kayu setinggi satu setengah meter di belakangku menunjukkan pukul 23.35. Detik gerak pada jam besar itu terasa amat berbeda. Seakan-akan memberi suatu hal lain selain mimpi buruk yang baru saja terjadi. Sebuah hal yang ganjil.
Ah, ya, aku ketiduran.
Aku pun teringat janji pada Keysia yang sudah tidak berada di ruang tengah. Aku segera berdiri dan melangkah keluar.
Suara serangga malam terdengar semakin nyaring. Bernyanyi dan menari bersama hawa dingin yang menusuk daging. Membentuk irama sempurna, serasa berpesta dengan keheningan alam di bawah megahnya cakrawala.
Rembulan mengintip di balik pucuk-pucuk daun pohon kelapa. Berbias bersama awan hitam yang berjalan pelan dan menutup setengah badan sang bulan.
“Dul,” sapa Keysia tatkala melihatku. Suara cempreng dan cerianya tertangkap jelas.