MAYDARA

Rudie Chakil
Chapter #28

Fajar Merah Darah

“Ssssssss ... Zzzzzz ....”

“...........”

Suasana tiba-tiba berubah menjadi tenang. Sangat tenang tanpa sedikit pun ada kebisingan. Aku Perlahan-lahan membuka mata.

Semuanya kabur ... semuanya hilang ... hanya temaram di tanah tak bertuan. Tanah berwarna gelap, merah, dan abu-abu tua.

Aku segera berdiri. Memandang luas sebuah hamparan yang tiada berbatas. Memandang langit yang berwarna merah menyala. Memandang gumpalan asap-asap seperti awan yang lewat di atas permukaan tanah.

Apa yang terjadi? Mengapa latar belakang ini berubah? Di manakah aku berada?

Aku bertanya sendiri oleh sebab bingung dan khawatir.

Bagaimana ini bisa terjadi?

Dalam titik dilema oleh pertanyaan yang belum terjawab, aku menengok ke kanan dan melihat dua orang sedang berdiri. Mereka melihat ke depannya dengan pandang amat serius.

Aku berjalan mendekatinya, ingin melihat apa yang sedang mereka saksikan.

Sebuah pemandangan yang sama persis dengan pemandangan dalam mimpiku tergelar di depan mata. Yakni sebuah peperangan besar yang melibatkan dua kubu besar. Mereka saling bunuh membunuh dengan amat beringas. Lebih buas daripada binatang dan manusia.

Ketika itu juga aku merasa bahu kiriku ada yang menyentuh. Aku pun menengok.

Orang yang berdiri disampingku itu langsung mendorong tubuhku dengan amat keras.

Dia adalah orang tua berperut buncit yang seringkali kulihat.

Tubuhku kemudian terempas jauh. Merasakan rasa yang sama seperti saat aku berada di dalam pusaran angin dengan mata terpejam. Melayang-layang entah bergerak naik atau jatuh.

Tiada pandangan yang dapat kulihat. Semuanya gelap. Semuanya tak dapat dilihat.

Kepalaku semakin terasa sakit, ditambah dengan rasa mual dari dalam perut.

Tuhan ... tolonglah aku. Pintaku, memohon kepada-Nya.

“Ssssssss..... Zzzzzz....”

“...........”

Aku perlahan-lahan mulai membuka mata untuk kedua kalinya. Ternyata aku masih dalam posisi berjongkok. Pandangku kembali melihat pelataran depan vila. Pagar tembok putih memanjang, pohon kelapa di sudut halaman, dan seorang gadis yang tengah berdiri membelakangi pagar tembok.

Keadaan sudah berubah menjadi tenang. Setenang suara kabut yang berjalan di atas rimbunnya pepohonan.

Gadis cantik itu hanya berdiri mematung sambil melihat padaku.

“Keysia,” ucapku pelan padanya, seraya berdiri.

Ibu Rika, Pak Amin, dan Mbak Tri datang dari dalam vila. Wanita bergaun merah itu langsung berjalan mendekat. Sedang, pria kurus tinggi dan wanita berambut terikat yang berdiri di sebelahnya seperti enggan untuk melangkah dan hanya berdiri di muka pintu.

Tiba-tiba aku melihat sesuatu tak kasat keluar dari tubuh Keysia, seperti angin yang sangat kencang, namun juga terasa seperti menghantam badannya. Aku tidak paham, apakah Ibu Rika juga melihat atau tidak pada sesuatu yang bergerak sangat cepat itu?

Lihat selengkapnya