Satu pekan telah berlalu, semenjak peristiwa mengerikan di hari Rabu malam itu. Namun setiap detail kejadiannya belum bisa menguap dari ingatanku. Tentang masa yang telah berlalu dan membawa banyak pertanyaan. Tentang berbagai rahasia yang sulit terpecahkan. Tentang mimpi-mimpi yang belum terwujudkan. Juga tentang bayang-bayang yang menghantui waktu siang dan malamku. Selalu saja datang, merangsang, kemudian bersemayam.
Entah ... sampai kapan semua ingatan ini hilang dan tidak terus terbayang?
Aku mengembuskan napas panjang. Baru saja aku usahakan untuk berpaling, detik itu pula satu kejadian mendarat mulus dalam pikiranku.
“Eh, Duljana. Jalan sepi yang tadi tuhh keluarnya di sini, nih,” Keysia berkata seraya menunjukkan sebuah belokkan ke arah kiri, dalam perjalanan pulang membeli singkong.
“Cuma tadi gue kurang yakin aja,” lanjutnya.
Aku hanya mengangguk, melihat tikungan ke kiri jalan yang ia tunjukkan. Gelap dan sepi.
“Duljana ... gue tuhh orang yang rasional. Gue lebih tertarik sama pelajaran di sekolah, ketimbang hal-hal yang lo maksud.” Dia menggerutu dengan wajah jutek yang cantik. “Lo jangan kayak temen-temen gue di sekolahan yaa.”
“Emang kenapa sama temen-temen lo di sekolah?”
“Mmmm ... mereka menduga, gue bisa ilmu-ilmu gaib. Gue bisa nerawang, gue bisa baca orang lain, gue bisa lihat setan, gue bisa bikin kejadian ke depan. Ah, pokoknya gue capek lah, ditanya-tanya terus ... gue capeeek.” Keysia bicara dengan memaju-mundurkan kepalanya sambil menepuk-nepuk setir mobil. Serasa meradang dengan sebuah ketidaknyamanan keadaan yang ia rasakan. Aku hanya terdiam, sebab tidak tahu harus berkata apa.
“Lo cukup nemenin gue, kalau gue lagi kesepian yaa, Duljana. Gue terhibur dengan adanya lo.” Ia menengok sambil tersenyum.
Aku kemudian merebahkan badan di kasur. Memandang pada tembok kamar di belakang televisi empat belas inci. Bibirku pun tersenyum, mengingat satu kejadian itu. Aku tahu, hal ini justru membuatku terus teringat. Tetapi tidak apa-apa. Biarlah sekalian kuceritakan bagaimana kelanjutannya.
“Assalammualaikum,” ucapku sambil membuka pintu, lalu duduk di kursi ruang tamu. Pagi hari pukul 06.15, aku sudah menginjakkan kaki di halaman rumah.
“Waalaikumsalam. Kamu dah pulang, Dul?” Tak lama kemudian ibu datang. Beliau bertanya dengan senyum hangat. Aku segera menggapai tangan dan mencium punggung tangannya.
“Parah, Bu. Ada satu kejadian yang serem banget, Bu,” ucapku sambil merebahkan punggung ke badan kursi.
“Serem gimana?” Ibu duduk di depanku, bertanya dengan nada ceria. Raut wajahnya tampak tersenyum.
“Nanti malam aja ceritanya ya, Bu. Sekarang Duljana kurang enak badan,” jawabku.
“Ya udah, kamu istirahat aja dulu. Dah makan belum?”
“Nanti aja, Bu, sekarang Duljana mau istirahat dulu.” Aku pun beranjak.
“Minum teh manis dulu aja.” Ibu berjalan masuk lebih dahulu, lalu membuatkan segelas teh manis hangat untukku. Setelah itu aku beristirahat.
Pada malam hari selepas salat Magrib, badanku terasa tidak sehat dan hanya bisa merebah di kasur. Sore tadi Mbak Tri menelepon, mengajakku kembali ke Bandung dengan membawa semua perlengkapan yang tertinggal di rumah. Namun aku bilang padanya, bahwa aku sedang tidak enak badan.
Ibu lalu masuk ke kamar, memberikanku segelas jahe susu, lantas duduk di pinggir kasur lantai. Aku pun menceritakan semua peristiwa yang terjadi di vila.
Sekali lagi ... respon ibu yang mendengar sungguh membuatku tertegun, penuh keheranan.
Mengapa ibu selalu tersenyum, tatkala mendengar ceritaku tentang kejadian demi kejadian kemarin?
Namun hal itu pun terjawab beberapa hari kemudian.
Pada hari Minggu, saat ibu sedang tidak di rumah karena pergi rekreasi bersama para ibu-ibu di lingkungan tempat tinggalku, Mas Ade datang ke rumah.
“Assalammualaikum.”
Laki-laki itu berpakaian serba hitam. Kemeja hitam dengan celana bahan hitam.
Pukul setengah lima sore hari, di hari Minggu itu, dia datang kala aku sedang duduk santai sambil mendengarkan musik di ruang tamu.
“Waalaikumsalam.” Aku berdiri menyambutnya. Dia berdiri tepat di muka pintu yang terbuka setengah.
“Masuk, Mas Ade,” sambungku.
Dia kemudian duduk di tempatku semula. Kursi yang selalu diduduki olehnya saat bertamu ke rumah.
“Ngopi yaa, Mas?” aku menawarkan.
“Enggak usah, terima kasih. Saya lagi enggak makan dan minum.” Sorot mata Mas Ade tampak tegas, dengan bibir yang tak bergaris senyum sedikit pun.
Oh, ternyata Mas Ade sedang berpuasa. Pikirku, di saat itu.
“Gimana kabar kamu, Dul?” ia lalu bertanya. Sikap dan cara duduknya tampak sangat dingin. Nada bicara pun datar
“Baik, Mas ... Mas Ade dari mana?” tanyaku, melihat kulit wajahnya yang tampak pucat.
“Dari rumah, mau ke rumah seseorang,” serunya, berubah nada menjadi tegas.
“Mas Ade enggak bawa kendaraan?” tanyaku lagi karena saat membuka lebar pintu rumah, aku tak melihat ada kendaraan. Pun tidak ada suara kendaraan bermotor yang menandakan kedatangannya.
“Enggak, saya jalan kaki,” jawabnya, menatap tajam tepat pada mataku.
“Duljana. Apa sesuatu yang kamu dapat, saat menjadi pembantu di sana? Segenggam uangkah? Sejengkal pengalamankah? Atau cuma pepesan kosong tanpa pelajaran yang kamu dapatkan?”
Hah?!
Aku terkejut dengan pertanyaannya. Mengapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu? Dengan sederet pertanyaan yang membuatku bingung untuk menjawabnya.
“Hmmm ... Mas Ade kok tiba-tiba nanya gitu, Mas?” aku bertanya padanya. Dia menghela napas. Wajahnya tertampak menjadi angkuh.
“Sekiranya tidak ada pelajaran apa-apa bagi diri kamu, untuk apa kamu meneruskan bekerja di sana?” lelaki itu berkata dengan lantang.
Aku pun heran; Mengapa Mas Ade bersikap tidak hangat seperti biasanya? Sungguh, aku jadi malas untuk menjawab, dan hanya diam saja. Padahal tadi aku sudah berniat hendak cerita padanya tentang kejadian kemarin.
Beberapa saat obrolan kami hening tanpa percakapan. Mas Ade lalu melanjutkan bicaranya.
“Saya sudah bilang sama kamu, Duljana, bahwa segala-sesuatunya itu ada caranya. Kenapa kamu hanya terus melihat, menyaksikan apa yang ada di luar dirimu? Bukannya menilik ke dalam dirimu sendiri?” tukasnya.
Aku tetap diam sambil menundukkan pandangan.
“Mulai detik ini saya minta sama kamu, jangan bekerja di sana lagi!” serunya, membuatku terkejut untuk kedua kali.
“Sekiranya mereka hubungi kamu untuk masalah anak yang kesurupan itu. Nih, saya kasih tau caranya.” Mas Ade terdiam sejenak. Aku coba menengok.
“Coba lihat tangan kamu sebelah kiri. Lihat, garis di ruas ibu jari bagian dalam.” Ia menatap serius tepat pada mataku.
“Apa, Mas?” aku mengamati kedua ruas bagian dalam ibu jariku.
“Lihat yang sebelah kiri, ada tahi lalatnya, kan?” lanjutannya bertanya.
“Hah, benar, Mas,” jawabku sambil tetap melihat.
“Kamu pegang tengkuk leher anak itu dengan tangan kanan, terus tempelkan ibu jari kiri kamu itu pada keningnya. Anak itu pasti langsung sadar.”
“Ohh,” aku terheran sendiri.
“Pokoknya mulai detik ini, saya gak mau dengar kamu bekerja di sana lagi...!” dia berdiri, “Assalammualaikum,” ucapnya, lalu berbalik badan dan keluar rumah.
Degg!
Ulu hatiku bagai tertusuk duri. Bagaimana bisa seorang Mas Ade bersikap seperti itu? Punya hak apa dia terhadap hidupku? Aku paham, dia memang orang yang telah berjasa bagi diriku. Tapi, apakah dia juga berhak mengatur-atur hidupku?
Aku hanya memandangi kepergiannya yang tanpa menoleh sedikit pun ke arah rumah. Baru saat itu aku tahu, bahwa Mas Ade mempunyai sifat yang amat buruk.
Jujur ... Saat itu aku merasa sangat kesal padanya.
Tetapi ... Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menahan kesal selepas kepergiannya.
Aku pun memandang langit-langit kamar yang mulai lapuk. Tetesan air hujan yang bocor dari genting telah membuat warnanya berubah, membentuk gambar serupa gunungan wayang di dalam pertunjukan wayang kulit.
Mengingat kejadian saat Mas Ade datang dan berbincang denganku itu membuat bibirku menekuk ke atas. Tersenyum karena mengingat akan kebodohanku. Kebodohan atas prasangka yang sudah aku tujukkan padanya, karena ketidaktahuanku.
Malam hari saat ibu sudah pulang dan sedang menonton televisi di ruang tengah, tempatnya biasa menjahit, aku mendatangi beliau untuk mengajak berbincang serius. Aku ingin segera menceritakan padanya perihal kedatangan Mas Ade sore hari itu.
“Bu ... ke depan yukk. Ada yang mau Duljana omongin,” pintaku.
Beliau menengok, “Ada apa?” tanyanya serasa aneh, melihatku begitu serius.
“Ayo, Bu, ngobrol di depan aja,” pintaku lagi, melangkah ke ruang tamu.
“Bu ... tadi sore, kan, Mas Ade ke sini yaa. Dia kok tiba-tiba marah sama Duljana yah?” ucapku saat beliau baru duduk. "Gak ada angin gak ada hujan."
“Ah, masa sih, Dul?” rautnya terheran. “Gak mungkin, ah,” sambungnya.
“Beneran, Bu. Duljana juga bingung, punya salah apa Duljana sama dia? Jangan mentang-mentang dia udah punya jasa sama Duljana, terus ngomong seenaknya gitu,” tukasku.
“Emang dia ngomong apa sih, Dul?” ibu bertanya lagi.
“Yah, gitu. Dateng-dateng udah kayak orang marah. Terus tiba-tiba nanya, Duljana dapat apa jadi pembantu di sana? Habis gitu dia nyuruh Duljana gak boleh kerja di sana lagi. Emang siapa dia bisa ngatur-ngatur hidup Duljana? Dia lagi banyak masalah kali yaa!” aku terus menggerutu.
Ibu tidak membuka mulut beberapa saat, lalu menatap dalam padaku, “Kamu marah, sama Mas Ade?” tanyanya dengan suara lembut. Aku terdiam sejenak.
“Gimana Duljana enggak kesal, Bu. Ibu gak lihat gimana cara Mas Ade ngomong tadi.”
“Dul.” Suara ibu menyambar.
“Sebentar yaa.” Beliau berdiri dan melangkah ke dalam. Tak lama kemudian kembali dengan membawa sesuatu di tangan.
“Kamu ingat gak, hari Minggu waktu pertama kali Mas Ade datang ke sini lagi?” tanyanya.
“Iya, ingat, Bu.” jawabku sambil melihat sesuatu di tangannya, berupa selembar kertas yang digulung.